Minggu, 27 September 2009

Jangan Banyak Berharap pada Obama

Oleh : Dominggus A Mampioper | 23-Jan-2009, 17:15:52 WIB

KabarIndonesia - Barack Obama telah membuat mimpi warga Afrika-Amerika menjadi kenyataan. Ini merupakan sejarah bagi warga Negara Amerika Serikat kulit hitam untuk menjadi orang nomor satu di negara adi daya di dunia. Bahkan peristiwa pelantikannya pada 20 Januari lalu mendapat perhatian dari seluruh warga di dunia termasuk orang orang Papua.

Bupati Puncak Jaya yang juga Ketua DPP Partai Demokrat Provinsi Papua Lukas Enembe sangat terharu dan menangis saat menyaksikan kemenangan Obama melalui TV. “Saya terharu dan menangis sebab ini saatnya kebangkitan orang kulit hitam di dunia,”urai Enembe mantan kandidat calon Gubernur Provinsi Papua.

Bukan itu saja banyak bayi laki laki yang lahir di Papua sejak 2008 lalu hingga 2009 diberi nama Barack Obama. Namun apakah yang bisa diharapkan dari Presiden Obama bagi orang Indonesia, orang Papua dan tentunya bangsa Palestina di Timur Tengah? Mungkin dia memberikan harapan tetapi sebesar apakah harapan itu?

Bagi Octovianus Mote warga Papua yang kini bekerja di New York mengatakan dengan dilantiknya Obama menjadi Presiden USA bisa membawa perubahan baru bagi warga dunia dan tentunya bagi orang Papua. “Saya melihat ada secercah harapan bagi orang Papua,” ujar Mote mantan wartawan Kompas yang kini tinggal di New York belum lama ini kepada penulis via telepon.

Tentunya sebagai Presiden Amerika sudah pasti dia akan menyelesaikan masalah masalah Amerika Serikat. Masalah dalam negeri patut mendapat perhatian dan selanjutnya sekutu terdekat serta mungkin masalah lain yang dianggap urgent untuk dibahas dan dibicarakan. Banyak pihak merasa kecewa ketika dalam pidatonya setelah dilantik, Presiden Barack Obama tak menyinggung satupun konflik Israel dan Hamas di jalur Gaza.

Ya memang, begitulah USA yang pada masa masa presiden terdahulu selalu melihat Israel sebagai sekutu terdekat dari Negara Paman Sam itu. Tentang Israel menurut penuturan Obama dalam buku Obama in His Own Words yang ditulis Lisa Rogak menyebutkan, AS harus menggunakan kewenangan moral dan kredibilitas membantu Timur Tengah mencapai perdamaian.

Komitmen pertama dan mustahil ditawar ialah keamanan Israel, sekutu sejati kita di Timur Tengah dan satu satunya demokrasi. Kita harus konsisten dan melibatkan Uni Eropah serta negara negara Arab untuk mendesakan demokrasi di dalam masarakat Palestina.

Bagaimana dengan posisi USA di Indonesia, tentunya penting. Hal ini dikatakan juga oleh Menlu AS yang baru Hillary Clinton. Indonesia sebagai Negara Islam terbesar dan juga banyak investasi AS ada di Indonesia terutama minyak, gas dan tambang. Mulai dari LNG Arun Aceh hingga kontrak karya PT Freeort Inc pada 1967 di Papua hingga sekarang ini.

Sebagai warga AS keturunan Afrika sudah pasti memiliki hubungan erat dengan beragam bangsa, walau dia sendiri memiliki pengalaman hidup antar bangsa mulai di Indonesia sejak masa anak anak hingga dewasa di Hawaii dan Chicago.

Fakta lain menunjukan bahwa dia dibesarkan oleh kakek dan nenek dari ibunya Ann Dunham, seorang Amerika Serikat dari Wichita, Kansas selama di Hawaii. Ini berarti hampir sebagian besar hidupnya dalam asuhan orang kulit putih. Beruntung dia menikah dengan, Michelle Robinson seorang perempuan kulit hitam Amerika Serikat.

Bagi Barack istrinya adalah sahabat yang paling cerdas, paling tangguh dan paling jenaka yang bisa dia dambakan. Lagi pula, ia selalu mendukung saya (Barack Obama).”Apa pun keputusan kami, selalu kami lakukan bersama sama,”ujar Barack Obama sebagaimana ditulis, Washington Post,11 Desember 2006. Sebaliknya bagi Michelle istrinya, Barack tak menjanjikan kekayaan, hanya kehidupan yang menarik.

”Janji itu sudah ditepatinya,”ujar ibu dari , Malia Ann dan Natasha ("Sasha") dalam majalah Sunday Times, 5 November 2006. Barack Obama pernah mengatakan bahwa warga African American selalu memiliki hubungan yang ambigu dengan Afrika.

Bahkan akhir akhir ini kita mengenakan kain tenun Ghana, menikmati Kwanzaa(hari raya festival panen dan budaya African American), dan memajang poster Nelson Mandela di dinding kita. Ketika pergi ke Afrika dan menemukan bahwa tak semua hal di sana manis dan benar, kita akhirnya merasa sangat kecewa.

Karena itu jangan terlalu berharap banyak kepada Obama karena kita akan kecewa. Lakukanlah apa yang bisa kita kerjakan minimal di sekitar keluarga dan warga kita, agar hidup kita ini lebih bermakna karena kepedulian kita terhadap sesama. Meski dia tampil sebagai orang kulit hitam Amerika tetapi sebenarnya Obama agak sedikit beruntung karena dia mengetahui sejarah asal usulnya.

Dia tahu bahwa ayahnya berasal dari Nyang’oma Kogelo, Distrik Siaya, Kenya. Bahkan Obama Junior pernah berkunjung ke sana dan bertemu dengan saudara saudaranya. Tak heran kalau akhirnya dia menulis buku berjudul Dreams from My Father yang akhirnya memenangi Grammy Award Best Spoken World Album pada 2006 lalu. Hal ini agak berbeda dengan mayoritas warga kulit hitam di Amerika Serikat yang punya sejarah hitam dan kelam.

Mereka tak pernah menyangka akan datang ke Amerika Serikat secara paksa sebagai budak belian sejak abad ke 17 melewati samudera Atlantik ke benua baru Amerika. Thomas Showell professor ekonomi Universitas California dalam bukunya berjudul Etnich America menyebutkan bahwa orang Amerika Serikat kulit hitam adalah suatu kelompok etnis atau ras yang dibawa ke Amerika secara paksa.

Mereka datang dari sebuah benua yang luas dan bahasa yang digunakan sangat beragam serta bervariasi sehingga mewakili banyak kebudayaan yang berbeda beda. Selama dua abad bahasa dan kebudayaan mereka hilang dan perbedaan genetic bercampur menjadi satu sehingga menghasilkan negro Amerika suatu hasil biologis dan budaya dunia baru.

Mereka bukan keturunan langsung dari salah satu bangsa atau kebudayaan Afrika tertentu. Jadi menurut Thomas Showell, orang kulit hitam Amerika adalah salah satu di antara orang Amerika tertua. Warisan kebudayaan mereka merupakan satu kebudayaan yang sepenuhnya terbentuk di tanah Amerika Serikat.

Produk kebudayaannya yang paling terkenal adalah gerakan spiritual negro yang kelak punya cabang seperti musik blues dan jazz, membentuk kerangka kerja bagi keseluruhan perkembangan musik popular di Amerika Serikat. Begitu pula dengan musik regae di Kepulauan Caribia di mana Bob Marley muncul sebagai pentolan musik khas masyarakat kulit hitam dari gelombang laut kepulauan.

Penulis jadi teringat ketika pertama kali di Ancol dilakukan acara Regae Night bersama Abresso Group Band dari Papua pada 1983-1984 ternyata minat musik regae saat itu masih sangat sedikit. Berbeda dengan sekarang musik regae sudah mendunia dan di Indonesia irama regae sudah tak asing lagi bagi telinga kita.

Kini orang kulit hitam Amerika Serikat dikenal bukan saja karena berbakat musik, pemain basket, tinju dan penyanyi. Tetapi memiliki seorang Presiden yang juga sama sama berkulit hitam. Walau Obama hidup dan besar dibawah asuhan ibu, nenek dan kakeknya yang berkulit putih tetapi masih ada secercah harapan untuk membawa perubahan.

Yes we can change
yaitu perubahan bisa dimulai dari lingkungan kita sendiri, di mana kita berada dan tinggal. Bukan sebaliknya berharap banyak agar orang lain termasuk Mr President Barack Obama yang mau datang untuk merubah nasib kita. Syallom. (*)
Yanto (01-Feb-2009, 19:48:48)
"Jangan percaya kepada para bangsawan [atau pemimpin], kepada manusia yang tidak dapat memberi keselamatan. Apabila nyawanya melayang, ia kembali ke tanah; pada hari itu juga lemyaplah maksud-maksudnya. Berbahagialah orang yang mempunyai, yang harapannya pada TUHAN, Allahnya. Dia yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya; dan tetap setia untuk selama-lamnya" (Kitab Mazmur 146: 3-6).


Jumat, 25 September 2009

PT. Freeport dan Masalah Sosial : Menuai Emas dan Kekerasan Diatas Tanah Adat

Saya selalu bertanya kepada Tuhan, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah Suku Amungme? Apakah karena gunung-gunung yang kaya dengan sumber daya mineral itu, Freeport, ABRI, Pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita?”. “Apakah karena itu, kami orang Amungme harus terus menerus ditekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kami maksudkan lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki”, almarhum Tuarek Narkime, Tokoh Amungme

JUBI — Ada gula, ada semut. Agaknya pepatah ini pantas disandang PT. Freeport Indonesia. Disitu, emas dan kekerasan dituai tanpa henti.


Lahan ribuan hektar itu adalah Grasberg. Orang Amungme di Timika menyebutnya, Gunung Tenogome. Lahan ini sekitar 40 tahun lalu menjadi sangat berarti untuk penambangan tembaga yang bernilai triliunan rupiah dikemudian hari. Tambang itu berawal dari sebuah lokasi yang sangat kecil. Inilah inspirasi terbesar setelah demam emas di Sungai Laloki. Sekitar 10 mil dari Port Moresby di Papua New Guinea (PNG) pada 1878. Laloki telah menjadi magnet bagi tim ekspedisi dunia untuk mencari sumber emas lain. Akhirnya mereka mendapatinya di Papua. Inspirasi ini juga yang membuat pemerintah Belanda pertama kali memberikan ijin ekspedisi pada Forbes Wilson dan Mozes Kilangin Tenbak untuk mengambil batu-batuan di Ertsberg. Batuan yang ternyata telah mengantar Amerika menghasilkan triliunan rupiah pertahun dan menghilangkan nilai yang sama untuk pemerintah Indonesia. Dalam operasinya, Freeport bisa memperoleh keuntungan bersih mencapai Rp 1,27 triliun. Setahun setelahnya, 2003, nilainya bahkan naik hingga Rp 1,62 triliun. Lonjakan itu bertambah pada 2004 menjadi Rp 9,34 triliun.

Awalnya dari ekspedisi itu, sebelum diketahui oleh pemerintah Indonesia jika nantinya akan disia-siakan, bersama Freeport Internasional, pemerintah meneken negosiasi yang menakjubkan. Namanya Kontrak Karya Pertama. Tahun 1967. Diluar dugaan, orang Papua menganggapnya aneh karena status wilayah masih belum jelas. Yang mencengangkan kemudian adalah, sebelum Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilaksanakan pada 1969 atau dua tahun sebelum Free of Choice, kontrak telah diteken.


Lewat Orde Baru, pemerintah selanjutnya mengeluarkan UU No:1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967. Undang-Undang ini untuk merespon keinginan pembukaan tambang baru. Maret 1967, PT. Freeport Indonesia Incorporate (FII), perusahaan yang dibentuk Freeport Internasional, diwakili Forbes Wilson akhirnya menandatangani Kontrak Karya Pertama. Usaha penambangannya di wilayah Pegunungan Selatan Jayawijaya, di Gunung Erstberg. Dalam bahasa Amungme disebut Yelsegel Ongopsegel. Penandatanganan untuk operasi tambang selama 30 tahun itu kini telah menghasilkan lubang raksasa di Erstberg yang diberi nama “Danau Wilson.” Nama ini diberikan sebagai penghormatan kepada Forbes Wilson. “Sejak awal, negara memang sudah tidak mengakui adanya masyarakat adat,” tegas Jerry, peserta dari Nabire dalam Seminar bertema, Satu Tanah; Satu Kultur dan Satu Hati di Hotel Sentani Indah belum lama ini.


Baginya, sangat luar biasa pemerintah saat itu langsung membuat kontrak karya. Padahal bagi suku-suku dipedalaman Papua, untuk memperoleh lahan yang luas, tak segampang yang dikira. Perlu pertumpahan darah untuk mendapat sejengkal tanah. Tanah bagi mereka ibarat ibu yang menjaga dan memelihara. Bagi mereka tanah tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga bermakna religius. Mereka mempergunakan tanah untuk mendukung segala aktifitas dan menjalankan kehidupan sehari-hari.


Tapi ini berbeda. Sampai disini, masyarakat juga tak dapat berbuat banyak. Mereka bahkan berpartisipasi dalam menunjang ekspedisi pembukaan Freeport. Masyarakat setempat terlibat mulai dari persiapan di Kokonao hingga pembukaan pemukiman baru di Akimuga. Pada proses pembukaan lahan ini, Tokoh Amungme,Mendiang Guru Mozes Kilangin Tenbak menceritakannya, “kitorang berjalan dari gunung ke gunung untuk membuka jalan untuk Freeport masuk. Kini semua sudah terbuka lebar semua orang datang ke Timika”.


Seseorang yang kemudian menyesali masuknya Freeport adalah tokoh Amungme, almarhum Tuarek Narkime. “Saya selalu bertanya kepada Tuhan, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah Suku Amungme? Apakah karena gunung-gunung yang kaya dengan sumber daya mineral itu, Freeport, ABRI, Pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita?”. “Apakah karena itu, kami orang Amungme harus terus menerus ditekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kami maksudkan lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki”. Kalimat itu masih terngiang hingga kini. Tuarek Narkime, 1994, juga mengatakan, “Sungguh, saya benar-benar marah kepada Tuhan. Mengapa Dia harus menempatkan segala gunung-gunung yang indah dan barang tambang itu di sini”.


Pergumulan Narkime tanpa disadari kemudian membawa perubahan besar. Warga Amungme pun marah. Kekecewaan itu berakhir diatas sebuah perjanjian pada Januari 1974. Hasilnya, mereka mendapat dana satu persen. Freeport juga membentuk Lembaga Masyarakat Amungme dan Kamoro terutama untuk pengelolaan dana tersebut yang bagi masyarakat setempat disebut uang darah. Namun kekecewaan belum berakhir. Persoalan kemudian berlanjut dengan selalu muncul perang antara suku di Timika. Penembakan, kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan juga menjadi warna baru setelah itu.


Insiden terakhir yang kemudian membuat sejumlah pihak mengecam Freeport adalah, tertembaknya seorang warga Negara Australia di mile 53 Tembagapura oleh orang tak dikenal. Insiden ini menuai protes ke Freeport yang dikenal super ketat dalam pengamanannya. Sekretaris Dewan Adat Papua Leonard Imbiri juga merasa heran atas peristiwa tersebut. Dia bahkan menyesali komentar TNI yang telah menjustifikasi Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai pelaku sebelum ada pemeriksaan dan pembuktian valid. “Aneh penyidikan belum selesai sudah ada yang dituduh,” tutur Imbiri kepada Jubi belum lama ini.


Atas insiden tersebut, Gubernur Papua, Barnabas Suebu, menegaskan, jelas bukan dilakukan oleh masyarakat sipil. “Apalagi masyarakat disana sudah menerima dana satu persen dalam peningkatan sumber daya mereka,” tutur Suebu. Pernyataan Suebu belakangan diikuti sejumlah media di Papua dengan menterakan sumber orang tak dikenal dalam kasus tersebut.


Akhirnya, sulit memang untuk menentukan kapan konflik akan berakhir di Timika. Jika saja Timika adalah Bandung, mungkin konflik tak akan terjadi. Sayangnya Timika adalah Freeport. Timika adalah emas dan perak. Dan Timika adalah gula. Disitu sangat jelas akan ada semut yang berkeliaran. Mulai dari jasa pengamanan hingga pengusaha kelas teri. Mulai dari penjual jamu hingga swalayan raksasa. Selayaknya Freeport yang diibaratkan gula meski dinikmati secara merata. Tujuannya untuk menghindari konflik yang suatu saat bisa akan kembali. Jelaslah seperti dikatakan, mantan Ketua Umum Forum Cendekia Muslimah Peduli ICMI Sulawesi Selatan, Sutina Made. “Dengan cara itu, sumber daya alam akan dimasukkan dalam kategori kepemilikan publik yang pengelolaannya diserahkan pada Negara dan hasilnya dikembalikan sebesar-besarnya kepada rakyat,” ujarnya.


Dia mengatakan, kini saatnya giliran intelektual Papua mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelamatkan sumber daya alam Papua. Bisa lewat promosi strategi managemen sumber daya alam yang lebih baik, khususnya di areal tambang Freeport, agar bisa membangun sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat. Jika tidak dilakukan dari sekarang, niscaya konflik akan terus berkembang. Masyarakat juga akan terus menanggung semua resikonya. Tidak hanya soal kekerasan dan pelanggaran HAM, tapi juga dampak lingkungan dari Freeport. “Para intelektual Indonesia khususnya cendekiawan Papua harus memberi solusi bagaimana sumber daya alam Papua dikelola secara adil,” katanya. Keadilan ini tidak saja untuk Freeport dan penguasa di Papua, tapi juga untuk 37,53 % keluarga Papua yang dihimpit kemiskinan. (Tim Jubi/DAM))

Sumber : www.tabloidjubi.com

Tambang Nikel dan Nasib Cagar Alam Cykloops

Dominggus A. Mampioper – Tabloid Jubi, 14 Juni 2008

Industri keruk yang rakus lahan dan air menyerbu kawasan-kawasan konservasi di Papua. Salah satunya cagar alam Cykloops. Padahal kawasan ini adalah penyimpan air untuk kota dan Kabupaten jayapura.

****
Maret 2007 lalu hujan yang mengguyur hanya beberapa hari saja telah memutuskan tiga jembatan dan rumah rumah di tepi sungai pun ikut hancur. Bahkan kini sumber sumber air di kawasan Cykloops pun ikut terganggu karena terancam kering. Menurut data dari WWF Region Sahul Papua di kaki Gunung Cykloop 34 anak-anak sungai tetapi yang masih mengalir lancar hanya 14 anak sungai saja.

Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Papua Toto Purwanto kepada wartawan di Jayapura mengatakan bahwa penambangan nikel di kawasan Cagar Alam Cykloops tak bisa dilakukan karena penyimpan sumber air bersih bagi penduduk di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura.

Bahkan hal senada juga dilontarkan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Ir Marthin Kajoi dalam tingkatan kawasan konservasi jelas kawasan Cagar Alam sangat tinggi perannya sebagai kawasan yang dilindungi. “ Kami jelas tak bisa memberikan rekomendasi dan ini harus melalui ijin Menteri Kehutanan di Jakarta,” ujar Kajoi menanggapi pertanyaan Jubi seputar tambang di kawasan Cagar Alam Cykloops belum lama ini di Jayapura.

Sesuai dengan peruntukannya maka kawasan Cykloop sendiri sejak jaman Pemerintahan Belanda sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Mulai 1974 pemerintah Indonesia menetapkannya menjadi kawasan Cagar Alam Cykloop. Kebijakan ini lalu ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.56/Kpts/Um/101/1978 tanggal 26 januari 1978. Luas areal dalam kawasan Cagar Alam yang telah ditetapkan seluas 22.520 Ha.

Pegunungan Cycloops yang terbentang dari Kota Jayapura, dan sebagian distrik di Kabupaten Jayapura, Papua menyimpan berbagai jenis tambang. Salah satunya yang adalah nikel.

Walau kedua pejabat di atas mengatakan tidak mungkin melakukan eksploitasi tambang nikel di Depapre dan Ormu tetapi berdasar Ijin Kuasa Pertambangan dari Pemerintah Provinsi Papua maka eksploitasi pun berjalan.

Meski PT SIP yang telah melakukan operasi tetapi pada tanggal 29 Juni 2007, Bupati Kabupaten Jayapura, mengeluarkan Rekomendasi, tentang Perusahaan yang berhak mengelola hasil tambang di Kabupaten Jayapura yaitu PT.TABLASUPA NICKEL MINING, berhak mengelola Tambang Nickel di Tablasupa.

PT.Tablasupa Nickel Mining melakukan presentase Visi dan Misi namun hasil presentasi tidak disetujui masyarakat karena syarat-syarat yang diberikan masyarakat ke pihak Perusahaan tidak dipenuhi.

Berikut PT.SINAR INDAH PERKASA (SIP) melakukan pendekatan kepada Ondoafi Kampung Tablasupa Obaja Apaseray dan kawan. Namun selanjutnya mendapat penolakan dari warga dan kini operasi PT SIP terhenti.

PT SIP bukan saja beroperasi di Kabupaten Jayapura tetapi saat ini sedang melakukan eksplotasi di TOR Atas Kabupaten Sarmi.

Pada tanggal 29 Januari 2008, Rapat bersama Pemda.Kabupaten Jayapura dan Pemda.Propinsi Papua, tentang keabsaan SK.Nomor: 158, ijin operasi PT.Sinar Indah Perkasa(SIP) , oleh Gubernur di areal Pertambagan Nikel Tablasupa. Pokok mendasar dari pertemuan tersebut adalah areal Pertambagan Nickel Tablasupa termasuk kewenangan wilayah Kabupaten Jayapura, bukan kewenangan Propinsi. Hal senada juga dilontarkan Ketua DPRD Kabupaten Jayapura Johanes Elluay tentang ijin yang diberikan tanpa sepengetahuan tuan rumah atau pemilik rumah.

Permukiman kaki gunung Cykloop awal 1985 dan 1992 serta aktivitas perambahan hutan untuk berbagai keperluan masih berlangsung. Aktivitas ini misalnya berlangsung di Waena, Skyaline,Ifar Gunung,Sereh, Pos Tujuh, Polomo, Kemiri dan Doyo.

Kemudian 1993 kegiatan penggalian bahan golongan C, seperti batu dan pasir di beberapa aliran sungai mulai berlangsung. Penduduk Kota Jayapura saat ini baru mencapai 300.000 jiwa sedangkan Kabupaten Jayapura hanya sekitar 200.000 jiwa. Lajunya jumlah penduduk ini semakin memperkeruh persoalan Cagar Alam Cykloop karena tekanan ekonomi atau lahan permukiman yang semakin terbatas.

Menurut data dari WWF Region Sahul Papua di kaki Gunung Cykloop 34 anak-anak sungai tetapi yang masih mengalir lancar hanya 14 anak sungai saja.


Sumber : http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/06/14/tambang-nikel-dan-nasib-cagar-alam-cykloops/

Hasil Analisis: Tiga Sungai di Mimika Berpotensi Racun

Pada 1999 lalu masyarakat di Kampung Omawita, Kabupaten Mimika mengeluh akan cita rasa tambelo (Bacthronophorus thoracites dan Bankia orcuti), siput dan kerang di wilayah mereka. Wilayah Kampung Omawita berada di luar lokasi konsesi PT Freeport (PT FI), tetapi ternyata ikut terkena dampak limbah tailing.

Atas keluhan masyarakat maka IPB, Uncen dan beberapa LSM di Papua melakukan penelitian. Yaitu Study On Mollusc Consumption Among People Reside Around Mimika’s Estuaries. Hasil studi itu menyebutkan tambelo, sipu, dan kerang (TSK) berubah warna menjadi binti-bintik hitam dan rasanya pahit. Sebagian besar penduduk menganggap cita rasa dan warna ini terjadi karena pengaruh limbah tailing di sungai-sungai mereka.

Begitu pula dalam disertasi dari Prof. Dr. Karel Sesa, MSi, Dekan Fakultas Ekonomi Uncen berjudul “Analisis Manfaat Ekonomi dan Dampak Lingkungan PT Freeport Indonesia Company”, di Tembagapura, Timika, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, pada 2007 menulis bahwa setelah adanya PT Freeport Inc, ternyata 10 % menyatakan sumber air minum baik, sedangkan sebanyak 90 % menyatakan sumber air minum tidak baik di Kampung Kali Kopi, Kampung Nawaripi, Kampung Nayaro, Kampung Tipuka, Kampung Fanamo dan Kampung Omawita.

Hal itu terjadi akibat akumulasi sedimen tailing yang terus meningkat di sungai-sungai terutama Sungai Aijkwa sebagai Area Deposision Aijkwa (ADA). Akumulasi itu terus meningkat karena kapasitas produksi terus meningkat dari 240.000 ton per hari hingga mencapai kapasitas maksimal sebesar 300.000 ton bijih per hari atau 300 K pada pasca penutupan tambang 2001.

Salah satu hasil kajian terkini yang diterima oleh penulis berjudul Studi Kajian Dampak Lingkungan Kabupaten Mimika, 2009. Semula seminar hasil kajian ini akan dilakukan pada Jumat (27/2) tetapi ditunda hingga batas waktu yang ditentukan kemudian.

Namun demikian, media lokal di Papua telah mempublikasikan hasil kajian ini. Berikut penulis mengutip seutuhnya hasil studi kajian dampak lingkungan Kabupaten Mimika, Februari 2009.

Dalam kajian itu menyebutkan, hasil analisis contoh sedimen perairan muara Minajerwi menunjukan terdapat tiga fraksi sedimen, yaitu pasir, lanau dan lempung. Fraksi pasir (sand) berkisar antara (12.55-65 %), lanau (silt) (12,24-22,12 %), dan lempung (clay) (21.89-75,20 %). Dapat dilihat bahwa presentase pasir tinggi pada lokasi 2 (EM 430) yang berada di bagian dalam muara dan lumpur tinggi pada lokasi 2 (EM 264) yang berada di bagian luar muara.

Fraksi pasir akan terkonsentrasi di bagian tengah aliran sungai, sedangkan fraksi yang lebih halus akan tersebar di bagian sisi atau luar aliran. Fraksi halus akan melayang terbawa oleh aliran dan menyebabkan warna air menjadi keruh. Semakin keruh memperlihatkan konsentrasi fraksi halus semakin tinggi. Seperti tampak pada lokasi 3 (EM 264).

Pemeriksaan sedimen terlarut total (Total Dissolved Sediment/TDS) menunjukkan satu contoh (EM 264) berada di bawah baku mutu dan dua contoh berada (18-24 kali lipat) di atas baku mutu yang ditetapkan. Pemeriksaan sedimen tersuspensi total (Total Suspended Sediment/TSS) menunjukkan hasil yang sangat signifikan di luar baku mutu yang ditetapkan atau berada 10-170 kali lipat di atas baku mutu yang ditetapkan.

Dari hasil pemeriksaan terhadap tiga contoh air maupun sedimen menunjukkan bahwa TDS yang sangat tinggi memperlihatkan telah terjadi perubahan yang sangat siginfikan di wilayah daratan, di antaranya aktifitas penggalian dan penambangan. Sistem operasi penambangan yang ditetapkan dinilai telah melampaui kemampuan atau daya dukung lingkungan, seperti sungai dan pantai, sehingga secara kuantitas dan kualitas air menjadi berkurang.

Potensi Racun

Dari hasil kajian tiga titik sampel air pada muara sungai di daerah estuary menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan cukup ekstrim pada komponen minyak/lemak, sulfat (SO4), chlorid (Cl), mangan(Mn), tembaga (Cu), timbal (Pb) dan mercury (Hg).

Hal yang mengkhawatirkan, beberapa parameter ini merupakan logam berat, yang artinya bahwa logam tersebut tidak mengalami transportasi bentuk (persitent), sehingga menyimpan potensi racun (toksitas) laten sebagai bom waktu kimia.

Penelitian kualitas air terambil dari tiga sungai berbeda yaitu muara sungai Tipoeka, Ajkwa, dan muara sungai Minajerwi, daerah estuary Kabupaten Mimika, pada 29 September 2008 lalu. Seperti telah dijelaskan, beberapa komponen kualitas air sungai mengalami peningkatan yang cukup ekstrim dibanding lainnya.

Parameter kualitas air muara sungai Tipoeka, Ajkwa dan Minajerw, Kabupaten Mimika menunjukkan peningkatan signifikan dari 30 parameter yang diuji. Ternyata 19 parameter atau 63 persen peningkatan hampir dua kali lipat, bahkan bisa lebih. Parameter yang mengalami peningkatan terdapat pada padatan kimia non logam dan logam berat.

Untuk aspek biologi, dari hasil kajian tentang keanekaragaman plankton menunjukkan komposisinya tidak beragam atau sangat rendah. Hal ini menunjukkan kondisi perairan kaya bahan organik. Faktor yang mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman plankton adalah muara Sungai Minajerwi atau pesisir Laut Arafura yang kondisi perairannya sangat berarus dan penimbunan memberi dampak buruk bagi biota yang ada di dalamnya. Faktor lain yang turut juga mempengaruhi adalah volume arus air laut yang cukup tinggi yang berakibat bergeser atau berpindahnya plankton.

Bentos dan nekton juga mengalami penurunan. Hal ini sudah sangat jelas sekali dari realita yang ada. Dengan air sungai yang keruh maka jelas biota yang hidup adalah biota yang survive atau mampu bertahan. Artinya, bentos dan nekton yang tidak dapat bertahan hidup di air yang keruh akibat limbah tailing akan menyingkir atau punah, tetapi biota yang tetap survive dengan lingkungannya akan tetap hidup. Biota tersebut adalah ikan gabus (Arius sp) dan udang.

Dampak lain yang timbul dari tailing yaitu telah merusak komponen biologi lainnya seperti vegetasi tepian sungai (mangrove) yang mengalami pengeringan. Oleh karena itu, perilaku membuang tailing ke badan sungai dapat pula menurunkan kualitas air sungai dan mengancam kepunahan biota yang ada di dalamnya.

Sesuai dengan hasil kajian dan studi ini maka para peneliti menyimpulkan antara lain, berdasarkan sifat kronis dari limbah tailing maka bisa dikatakan tailing dikategorikan sebagai limbah (B3), yaitu dengan melihat faktor pembatas jumlah limbah yang dihasilkan pada suatu tempat atau secara regional atau secara nasional berjumlah besar dan juga potensi berimigrasinya tailing ke media lingkungan memiliki kemungkinan yang sangat besar dengan melihat medan (terrain) pada aliran tailing sampai dengan Daerah Pengendapan Ajkwa (DPA).

Berdasarkan hasil temuannya, maka para peneliti dalam kajiannya tersebut menyarankan perlunya meninjau kembali sistem pembuangan, penahanan, dan pengangkutan limbah tailing, mulai dari sumber tailing sampai dengan muara Sungai Aijkwa, dengan menggantikan Sistem AOA (Aghwagon, Otomona dan Ajikwa) menjadi sistem Pipanisasi.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 dalam pengelolaan limbah B3 maka peraturan ini secara tegas melarang adanya kerusakan yang ditimbulkan adanya limbah B3 terhadap lingkungan hidup, manusia dan makhluk hidup lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa sekalipun tailing telah dikelola di Daerah Pengendapan Aijkwa, akan tetapi makhluk hidup dan ekosistem di kawasan tersebut telah mengalami kerusakan.

Adapun status tailing PT Freeport Indonesia terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang tata pengaturan air menunjukkan bahwa Sungai Aghwagon, Otomona dan Aijkwa perlu ditinjau kembali perijinannya, mengingat berdasarkan tata pengaturan air kurang memperhatikan untuk kepentingan perlindungan, pengembangan dan prioritas penggunaan air dan/atau sumber air

Ketika Hutan Papua Berubah Fungsi


KabarIndonesia - Fakta menunjukan bahwa tanah Papua merupakan surganya para pencinta hutan tropis, sebab mulai dari Sumatera dalam pengamatan penulis bersama Kapal Rainbouw Warrior pada November 2007 lalu dalam kampanye penyelamatan hutan, ternyata hutan tropis Sumatera tinggal kenangan. Yang tumbuh hanya hutan karet, dan hutan perkebunan sawit. Pelabuhan Dumai di Provinsi Riau merupakan salah satu pelabuhan CPO teramai di Indonesia. Ramainya pelabuhan Dumai telah mengalahkan pelabuhan Belawan karena ratusan ribu ton CPO di eksport dari pelabuhan ini. Waktu itu Kapal Rainbouw hendak memblocking kapal tanker MV Westama Monrovia yang hendak mengangkut 300.000 ton CPO ke India tetapi ternyata kapal itu lolos dari terjangan kapal layar bermesin milik NGO Internasional itu. Hutan Kalimantan pun mengalami nasib serupa hutan hilang dan rotan pun ikut terhimbas, lalu masyarakat Dayak hanya bisa menatap ribuan log lewat di depan batang hidung mereka. Hutan sudah berubah jadi hutan industri mau pun perkebunan kelapa sawit. Ironi memang, sementara negara tetangga Malaysia dan Singapura berusaha menghijaukan hutan mereka seolah olah mereka merupakan hutan tropis terlengkap dengan memiliki ribuan spesies dan keanekaragaman hayati yang besar. Bukan hanya di Kalimantan dan Sumatera tetapi hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat dua provinsi pemilik hutan tropis terbesar di Indonesia kini sedang menunggu giliran untuk ditebang satu demi satu atas nama investasi dan kesejahteraan masyarakat. Memang investasi penting tapi tolong jangan rusakan hutan tropis terakhir kebanggaan masyarakat Indonesia di tanah Papua. Padahal hutan bagi masyarakat adat Papua adalah gudang penyimpan makanan dan obat obatan tradisional. Mereka meyakini bahwa tanpa adanya hutan berarti lambat laun mereka akan terhempas dari rimba belantara penghasil daging buruan seperti babi hutan. Para pemburu di Lembah Juk Distrik Kaureh Kabupaten Jayapura Provinsi Papua yakin jelang musim buah Matoa pada bulan Desember sudah pasti banyak burung nuri yang memakan buah matoa. Malam harinya kelelawar pun ikut mencari buah Matoa khas Papua yang manis dan gurih. Biji biji matoa yang jatuh di dekat pohon merupakan makanan enak bagi babi hutan dan juga burung burung kasuari. Saat itulah para pemburu mulai beraksi memanah burung Kasuari dan babi hutan. Kini kalender musiman masyarakat adat untuk berburu sudah berubah sebab pohon pohon Matoa tempat bermain burung Nuri dan kakatua telah ditebang dan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Sebanyak 20.000-30.000 Hektar Lembah Juk di Kaureh telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit milik PT Sinar Mas. Bagi perusahaan Sinar Mas masyarakat ada di sana telah memperoleh kompensasi sehingga adalah sangat wajar kalau hutan hutan itu berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat adat jelas pasrah karena jumlahnya sedikit dan berburu pada areal yang luas tentu tak punya posisi tawar yang kuat. Pasalnya demi meraih devisa dan sebuah investasi masyarakat adat kaum pemburu harus tersingkir dari pola pola kehidupan yang kita anggap primitif dan tidak modern. Kabupaten Keerom Provinsi Papua adalah salah satu gambaran buram penduduk asli di sana yang mengalami benturan budaya antara jadi buruh perkebunan sawit dan kebiasaaan berburu. Pemerintah mulai membuka Perkebunan Sawit di sana pada 1982/1983. Tujuannya untuk mensejahterahkan masyarakat. Masyarakat asli Keerom yang sebelumnya hidup sebagai peramu dengan mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupannya, berubah menjadi pola ekonomi produktif dengan gaji bulanan dan kewajiban membayar kredit. “Masyarakat mengalami shock culture,”ujar Bruder Edi Rosariyanto dalam penelitian SKP Keuskupan Jayapura di Dekenat Keerom kepada penulis di Jayapura. Bukan itu saja lanjut Bruder Edi di bidang pangan, anak-anak cenderung makan nasi yang tidak mereka produksi sendiri daripada papeda (sagu makanan pokok) yang merupakan makanan turun temurun. Pola bertani masyarakat asli juga berubah dari peramu, meloncat ke sistem modern. Dan permasalahan yang lebih besar adalah konflik yang ditimbulkan oleh pelepasan tanah. Konflik dari masyarakat atas tanah ulayat mulai muncul sejak keluarnya SK Bupati No. 31/KPTS/BUP-JP/1983. Menurut Rosariyanto, melalui surat itu masyarakat merasa ditipu karena perubahan lokasi tidak sesuai dengan pelepasan tanah adat yang disepakati. Masalah ulayat lainnya adalah rekognisi diserahkan kepada pihak yang tidak berwenang dan pelepasan dilakukan oleh pemilik yang tidak sah. Kenyataannya protes-protes masyarakat terhadap perusahaan justru menghadapkan mereka pada pihak keamanan “Karena sawit masyarakat akhirnya hidup dalam tekanan, penuh intimidasi oleh militer. Karena sawit masyarakat teraniaya. Masyarakat tidak hidup dari pohon-pohon kelapa sawit tapi dari hutan. Sebab itu lebih baik bawa sawit pergi, biar mereka hidup dengan cokelat saja,” kata Pater John Jonga, pimpinan Dikenat Keerom melengkapi pernyataan Bruder Edi. Permintaan masyarakat Arso semakin besar terutama ketika melihat petani dari Waris yang dapat menjual hasil cokelatnya dengan harga tinggi namun tidak kehilangan hutan sebagai sumber penghidupan mereka. “Kami mampu mengelola sawit. Namun dengan kondisi pabrik dan sistem pengelolaan seperti ini siapa yang bisa bertahan. Kalau cokelat berbeda, sebab dapat dikerjakan mam-mama dan anak-anak,” kata Markus salah satu petani Arso. Pemerintah daerah sepertinya juga memahami kebutuhan ini. Beberapa bantuan mulai diberikan untuk pengembangan cokelat di Arso. “Bantuan bibit cokelat sudah kami berikan, walaupun belum secara keseluruhan masyarakat menerimanya. Mereka bisa menanam cokelat di lahan pekarangan mereka. Dan sambil menunggu cokelat dan sawit menghasilkan kembali, kami sudah melakukan beberapa bantuan untuk ibu-ibu per paguyuban,” kata Celsius Watae, Bupati Kabupaten Keerom. “Namun memang belum merata. Per kelompoknya kami beri bantuan Rp 7 juta untuk mengembangan usaha ekonomi produktif bagi masyarakat,” lanjutnya. Namun dirinya enggan berkomentar tentang alih fungsi perkebunan sawit menjadi perkebunan cokelat. Kebun sawit di Arso, terutama PIR I dan II sudah berumur lebih dari 20 tahun dan tidak produktif lagi. Pohon-pohon sawit di sini sudah harus diremajakan kembali, sebab jumlah tandannya tidak sebanyak yang berusia 5 hingga 10 tahun. Jika dipanen, tandan yang jatuh dari ketinggiahan 8 meter mengakibatkan banyak buah sawit yang rusak dan juga memerlukan tenaga yang lebih besar untuk panen. “Tidak-tidak, saya tidak berani mengeluarkan statemen seperti itu. Tetapi jika dipandang terjadi monopoli harga, itu harus diakui. Tetapi perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apa yang benar-benar dapat mensejahterahkan masyarakat di sini,” kata Bupati Selain kehilangan hutan, masyarakat pribumi Arso menjadi minoritas. Jika diakumulasikan dengan seluruh orang Papua asli yang juga menetap di Arso (tiga distrik: Arso, Arso Timur dan Skanto), jumlah orang Papua asli hanya sekitar 28,4 persen dan non papua sekitar 71,6 persen. Dampak investasi bagi masyarakat pribumi dan non pribumi dalam segi lingkungan hidup, ekonomi, sosial, budaya, hak ulayat dan keamanan merupakan pekerjaan besar yang perlu diselesaikan oleh pelbagai pihak. Keseriusan untuk menyelesaikan persoalan antara petani, perusahaan dan pemerintah merupakan tanda bahwa kesejahteraan petani sawit merupakan salah satu tujuan keberhasilan Kabupaten Keerom. “Persoalan yang muncul akibat investasi perkebunan Arso perlu menjadi pelajaran berharga untuk pemerintah. Pemerintah harus betul-betul teliti dalam menerima investasi yang sejenis jika tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pribumi,” kata Rosariyanto. Ia berharap dengan penelitian ini dapat membantu tim pastoral Dekenat Keerom memahami situasi umatnya terkait dengan kesejahteraan petani sawit, menyadarkan masyarakat terhadap pilihannya di masa lalu terhadap perkebunan sawit dan membantu pemerintah menyikapi dampak investasi di Papua, khususnya di Kabupaten Keerom.


Cilakanya lagi tanpa belajar dari pengalaman masa lalu kini di Kabupaten Keerom telah dilakukan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru di sekitar Distrik Waris. Lahan seluas 26.000.000 hektar itu akan dibangun 20.000 hektar perkebunan baru dan 6.000 hektar sebagai lokasi pabrik dan permukiman karyawan dan staf.
Jika melihat sejarah pemanfaatan sektor kehutanan di tanah Papua, memang dimulai sejak penjajahan pemerintah Belanda melalui Nederlands Nieuw Guinea dengan membangun pusat kehutanan di Manokwari.
Sekitar tahun 1955, Pemerintah Nederlands Nieuw Guinea membangun pabrik pengelolaan kayu untuk diekspor. Dalam buku Papua on the Threshold of Self Determination ditulis "...towing timber out to Manokwari, timber export....". Dari Manokwari kayu sawmill itu dikirim keluar Papua untuk diekspor dan juga untuk pembangunan perumahan di seluruh tanah Papua.
Kembalinya tanah Papua ke dalam pangkuan NKRI lebih meningkatkan lagi aktivitas pemanfaatan sumber daya alam termasuk pengelolaan hutan. Apalagi saat itu ekonomi Pemerintah Indonesia masih membutuhkan dana sehingga investasi menjadi salah satu andalannya. Pada tahun 1967 PT Freeport Indonesia dan Bechtel Construction mulai membuka hutan dan dataran bakau Mimika dan Cartensz untuk mulai menggali tembaga, emas, dan perak.
Kemudian kegiatan FUNDWI di Papua membuka sawmill di daerah Holtekamp Kota Jayapura sekitar tahun 1968, yang kemudian dikelola oleh PT Hanuratta. Selanjutnya kegiatan HPH mulai marak di Provinsi Irian Jaya dan pembagian areal hutan kepada para investor mulai dilakukan tanpa melibatkan masyarakat di sekitar hutan.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Tanah Papua dimulai tahun 1975-1990 hanya terdapat 20 perusahaan (21 unit), tahun 1991-1995 tercatat penambahan 27 perusahaan (33 unit) dan tahun 1996-2000 ada 7 perusahaan lagi, sehingga total seluruhnya mencapai 54 perusahaan pemegang HPH di Tanah Papua. Namun yang masih beroperasi awal tahun 2000 tinggal 23 HPH saja, tetapi itu pun tidak berjalan dan stagnan, selebihnya tinggal menunggu waktu untuk guling tikar.
Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua pada 2007 ini, tercatat jumlah HPH/IUPHHK yang mendapatkan ijin konsesi sebanyak 35 unit dan yang aktif hanya 15 unit dan selebihnya stagnan sebanyak 20 HPH.
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan di Provinsi Papua diberikan target penebangan tahunan (AAC) selama tahun 1995/1996 sampai 1999/2000 rata-rata 24.460-250.680 m3/tahun dari target 5.533.817 m3/tahun (22 %) sebelumnya setiap perusahaan. Padahal rata-rata yang akan habis masa berlakunya sampai dengan tahun 2018 dan untuk mencabut pemegang HPH dibutuhkan proses panjang karena mereka sudah membayar ijin untuk pengelolaannya sebelum melakukan operasi di areal konsesi mereka.
Laju deforestasi di Papua cukup tinggi, data Baplan (2002) menunjukkan rata-rata laju deforestasi pada periode 1985-1997 mencapai 117,523 ha per tahun. Sedangkan data terakhir dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua melalui Kepala Balai, Noak Kapisa, laju deforestasi sebesar 0,13 juta hektar per tahun atau 130.000 hektar per tahun.
Sedangkan jenis-jenis kayu yang bernilai ekonomis di Provinsi Papua adalah jenis matoa (Poteia spp), medang (Litsea spp), bintanggur (Callophyllum spp), libani (Pterigatha spp), tertentang (Campnosperma), kayu susu (Alstonia spp), Duabangga mallucana, Manilkara spp, Homalium futidumbena, binuang (Octomeles sumatrana) dan merbau (Instia spp).

Investasi dan Transparansi Perusahaan Tambang Sebuah Impian


KabarIndonesia - Grasberg, sebuah puncak gunung di tengah rimba tropis Papua ternyata menyimpan kekayaan mineral yang kelak ternyata berharga lebih dari US $ 77 milyar. Gunung penyimpan mas dan tembaga itu telah digali terus menerus hingga menyisakan lubang raksasa di Ertsberg dan sebentar lagi Grasberg menanti gilirannya untuk menjadi danau diketinggian empat ribuan.

Namun yang jelas pengalaman selama ini hampir kebanyakan perusahaan baik asing mau pun nasional selalu berhubungan langsung dengan pemerintah pusat dan daerah. Ironinya masyarakat di sekitar sumber daya alam (SDA) tidak mengetahui kalau arealnya mengandung potensi yang akan dikelola. Bahkan terkadang mereka sangat miskin padahal mereka sebagai pemilik dan bukan korban. Faktanya hampir 80% warga Papua berada dalam jeratan kemiskinan dengan urutan pertama daerah miskin di Indonesia.
“Ada filosofi dari para orang tua di Papua kalau seseorang berada didekat api berarti dia merasa panas terlebih dulu, tetapi kenyataannya tidak terjadi seperti itu. Karena biasanya orang asli Papua pemilik hak ulayat justru dipindahkan jauh dari lokasi pertambangan yang kemudian tidak diperhatikan,” ujar Lindon Pangkali mantan aktivis Forest Wacht Indonesia (FWI) Regio Papua dalam Seminar dan Lokakarya Mendorong Transparansi Pengelolaan Industri Extraktif (digali) di Papua,” sebuah upaya mencari bentuk keterlibatan yang efektif pemerintahan daerah dan organisasi-organisasi masyarakat sipil di Jayapura belum lama ini.

Jadi tak heran kalau orang Papua sejak dulu sudah menjadi korban lanjut Pangkali pasalnya warga Papua di sekitar hutan bertahun tahun melihat logging lewat di depan batang hidung mereka. “Begitu juga mereka yang hidup di sekitar lokasi pertambangan, sama saja nasibnya,”ujar Pangkali seraya menyebut setiap ada eksploitasi tambang, gas dan sumber daya alam lainnya mereka tak pernah merasa hangat nya atau nikmatnya hasil investasi. “Saat itu kutukan terhadap sumber daya alam justru berlaku pada mereka sebagai pemilik sumber daya alam,”tegas Pangkali.
Kini di jaman UU Otsus dan transparansi harapan masyarakat agar bisa terbebas dari kutukan sumber daya alam semakin mengecil ataukah tambah besar dan merambah ke segala sektor?
Meski sudah ada UU Otsus Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP) tetapi kasus kasus pertambangan di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua justru mengorbankan masyarakat adat setempat. Masyarakat pemilik tambang ditangkap karena mengelola tambang dan tidak diberi ijin.

Ibu Ani Sabami anggota MRP dari Pokja perempuan MRP menyebutkan ada banyak pelanggaran terhadap SDA di Papua seperti Nikel di Raja Ampat, Gas Alam Cair di Bintuni.
“Perlu ada sinkronisasi antara Undang-undang No. 4 tahun 2009 dan Undang-undang No. 21 Tahun 2001. Usulan saya perlu ada pertimbangan tetang transparansi karena itu harus ada keberpihakan terhadap orang Papua,” ujar Sabami.

Selanjutnya kata dia terkait pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) namun realita yang ditemui MRP , pemerintah selalu megacu kepada kebijakan sektoral, padahal Indonesia adalah anggota PBB yang seharusnya mengambil referensi dari dunia Internasional
harapan terhadap UU Otsus Papua ternyata tak semudah membalikan telapak tangan untuk memperoleh semua kemudahaan agar terhindar dari sebuah kutukan sumber daya alam.

Pemerintah dan DPRP belum secara tuntas membicarakan pelaksanaan UU Otsus Papua beserta perangkat perangkat lainnya seperti Perdasus dan Perdasi. Kini investasi pertambangan berjalan seiring dengan pemekatan provinsi dan kabupaten. “perlu dilakukan studi kelayakan dari Pemda,” ujar Lemok Mabel Dewan Adat Wilayah Baliem. Bagi Mabel masalah investasi sangat sulit sebab kepentingan pemerintah lebih besar dari pada masyarakat. “Harus ada proteksi terhadap orang Papua dulu baru kemudian berbicara investasi di Papua,”kata Mabel. Menurut dia semua pihak harus menyepakati perlindungan terhadap masyarakat asli Papua, pasalnya penduduk Papua sedikit dan siapa yang mau bekerja. “UU Otsus Papua juga harus memiliki pasal pasal rujukan yang melindungi atau memrotek penduduk asli Papua,” tegas Lemok.

Terkait dengan masalah investasi mau pun transparansi, Abraham Fonataba Direktur Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menanyakan hampir sebagian besar masyarakat di Papua tidak mengetahui untuk apa dana royalti dari PT Freeport digunakan. Menurut dia masyarakat berhak mengetahui dana dana dari perusahaan yang berinvestasi di Papua dipakai untuk kepentingan apa dan bagaimana bentuk pertanggungan jawabannya. Memang selama ini Pemprov Papua memperoleh royalty sekitar 80 persen sedangkan pemerintah pusat 20 persen.

Sekitar lima tahun lalu sebanyak, 80 persen bagian untuk Pemprov Papua adalah senilai Rp 120-150 miliar. Dana itu digunakan untuk pembangunan di Papua serta daerah-daerah sekitarnya.
Sedangkan bagi masyarakat Amungme dan Suku Kamoro di Kabupaten Mimika memperoleh dana satu persen. Bagi Markus Haluk sangat mengherankan karena dana satu persen tidak jelas asal usulnya dan baru diberikan sekitar 1998 lalu. “Mengapa sejak kontrak karya 1967 tidak dibayarkan kepada masyarakat,”ujar Markus Haluk Sekjen Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua.

Tidak Transparan


Budi Setyanto Direktur ICS Papua mengatakan tidak adanya transparansi yang memadai terhadap kontrak-kontrak investasi di Papua. “Artinya kalau kita mereview kembali dari investasi-investasi yang sebenarnya hampir semua kontrak-kontark itu tidak pernah diketahui atau tidak ada informasi baik itu oleh pemerintah provinsi, pemkab dan pemkot,” ujar Budi.

Lebih lanjut urai Budi hal ini sangat tidak memadai terlebih dengan masyarakat pemilik konsesi sehingga menyulitkan semua elemen yang ada di Papua mengetahui secara persis, bagaimana bentuknya investasi dalam konteks industri-industri ekstraktif.

“Saya kira masalah ini tidak hanya di Papua saja tetapi juga di Kalimantan, Sumtera, hak kepemilikan adat yang menjadi wilayah konsensi ini juga tidak pernah diakui,”tegas Budi Setyanto.

Menurut dia hal ini sangat jelas sekali baik di PT.Freeport Indonesia, LNG Tangguh maupun yang lainnya pasti tidak ada perundingan terlebih dahulu. “Secara legalitas ini juga tidak ada pengakuan sama, bahwa ini adalah atau klaim dari negara bahwa penguasaan ditangan pemerintah yang kemudian merujuk kepada pasal 33 UUD 1945, dimana yang bersifat umum itu dikuasai negara yang ujung-ujungnya berwarna abu-abu atau tidak jelas,” ujar Budi Setyanto.
Masalah selanjutnya yang sangat krusial kata Budi Setyanto pihak investor tidak pernah memberikan ruang kepada masyarakat adat pemilik konsesi untuk terlibat sebagai pemegang saham dalam perusahaan. Misalnya saja masyarakat adat yang memiliki Gunung Grasberg yang kini ditambang PT Freeport dengan SDA yang melimpah, seharusnya masyarakat bisa ikut andil sebagai pemilik saham.

“ Tetapi memang sekali lagi tidak ada ruang yang diinformasikan atau diberitahukan kepada masyarakat terhadap apa yang menjadi kekayaannya itu,“ ujarnya seraya menambahkan pemerintah Indonesia juga menegaskan tidak perlu dibicarakan dalam kontrak karya II.
Tidak adanya keterbukaan dana bagi hasil antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat pemilik wilayah konsesi. Misalnya saja pada saat kita tanya tentang berapa jumlah persentase pendapatan yan diperoleh pemerintah pusat, daerah dan masyarakat adat dari hasil PT.FI, sehingga tidak ada rasa keadilan bagi masyarakat adat dan pemerintah di Papua. “Tetapi sayangnya kami belum bisa menggali data yang lebih banyak lagi,” ujar Budi Setyanto dalam pemaparan makalahnya.

Menurut dia soal pengembangan SDM lokal masih bersifat politis dan belum menjadi tanggung jawab perusahaan. Artinya bahwa tenaga kerja yang diakomodir dari masyarakat Lokal, ini nuansanya politis karena bukan merupakan tanggung jawab perusahaan tetapi merupakan kewajiban yang memang harus dilakukan.
Hal ini bisa terlihat dengan perjuangan Tongoi Papua sebuah organisasi karyawan asli Papua di PT Freeport memperjuangkan hak hak mereka antara lain membentuk Departemen Papua Affair. Sebuah departemen yang khusus menangani karyawan asal Papua.

Kemudian yang berikutnya, industri ekstraktif menimbulkan ekses/pencemaran lingkungan, pelanggaran HAM dan marginalisasi yang tidak tertangani secara baik. Ada perbedaan yang terjadi pada LNG Tangguh di Bintuni. Di mana pihak LNG Tangguh membangun pemukiman baru bagi masyarakat setempat sebelum perusahaan beroperasi telah diangun perumahan yang harganya sekitar 200 – 400 juta rupiah.

Industri ekstraktif pertama di Tanah Papua, menutur Ir N Maidepa adalah industri minyak oleh Bataafs Petrolium Maatshappey (BPM) di Babo di Teluk Bintuni sekitar tahun 1930-an. “Diatas bekas-bekas industri minyak ini diabad ke-21 ini berdiri pula industri gas pertama dibuka dengan nama LNG-Tangguh oleh Beyond Petrolium (BP),” ujar Maydepa yang juga anggota MRP.

Bersamaan dengan industri itu lanjut Maydepa beberapa pemuda di sekitar Babo dan Bintuni melahirkan banyak putra Papua di wilayah itu termasuk dirinya untukk dididik menjadi tenaga kerja di bidang gas dan minyak. “Saya belajar geologi ke luar negeri,” ujar Maydepa geolog pertama orang Papua. Namun kata Maydepa industri terbaru yang muncul dimuka Bumi Cenderawasih ialah LNG-Tangguh yang kepalanya dipegang Pusat, kekuasaan NKRI dan jari kelingkingnya dipegang oleh Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat, DPRP Provinsi Papua dan DPRP Papua Barat.

“Pendapatan daerah pada zaman kolonial dari industri minyak yang dipungut pemerintah menjadi pendapatan resmi Provinsi West New Guinea karena berstatus Otonomi,” kata Maydepa mantan Bupati Manokwari.

Namun yang jelas menurut Maydepa peluang untuk berkembangnya industri ekstraktif tetap ada dan cukup besar untuk MIGAS maupun pertambangan umum di Tanah Papua.
Walau demikian lanjut Maydepa peluang ini belum memberi manfaat, jika tetap didukung dengan regulasi yang melancarkan investasi dan demi kesejahteraan rakyat yang notabane memiliki hak ulayat .

Hal ini merupakan peluang besar jika industri ekstraktif berkembang pesat di tanah ini, walaupun sekarang disaat ini masih menjadi sebuah tantangan. Menurut Maydepa karena ada sharing pendapatan antara pusat pendapatan dan daerah penghasil. Tantangan yang lebih besar bagi daerah ialah presentase sharing dari revenue atau pendapatan asli. “Untuk demi kebaikan bersama perlu adanya regulasi yang baik dan demokrasi serta tingkat transparansi yang tulus iklas antara kedua belah pihak karena ada promo di Papua. “Jangan kitorang baku bohong terus,” ujar Maydepa.




KONTRAK KARYA DI PROVINSI PAPUA
Nama Perusahaan Luas/Jenis Lokasi/Kab/kota Keterangan
1 PT. Freeport Indonesia BLOK A 10.000 ha. Kabupaten: Mimika, Paniai,
Puncak Jaya, Tolikara Blok A : Eksploitasi,
Blok B : 202.950 ha Blok B : Eksplorasi
2 PT. Iriana Mutiara Idenburg 108.600 ha Emas dmp
Kabupaten: Keerom, Pegunungan Bintang
Perpanjangan Eksplorasi Tahap II
3 PT. Irja Eastern Minerals Blok I;228.760 ha
Kabupaten: Kaima, Nabire, Mimika, Waropen, Paniai, Puncak Jaya,
Tolikara Perpanjangan Eksplorasi
Blok II1;73.300 ha
Blok III;91.990 ha Emas dmp (Dan mineral Pengikut)
4 PT. Iriana Mutiara Mining 16.470 ha Emas dmp
Kabupaten Sarmi Perpanjangan Eksplorasi
5 PT. Kumamba mining 211.800 ha. Logam Dasar (pasir besi, dll)
Kabupaten Sarmi Perpanjangan Eksplorasi Tahap II
6 PT. Nabire Bakti Mining Blok I; 159.247 ha.
Kabupaten Paniai, Fakfak Perpanjangan Eksplorasi
Blok II; 30.320 ha
Blok III; 9.937 ha

Tabel Kuasa Pertambangan(KP) Penyelidikan Umum

Nama Perusahaan Tahap Kegiatan Luas dan Jenis Bahan Galian
Kabupaten/Kota
1. PT. Benliz Pacific Penyelidikan Umum 45.680 Ha, Emas dmp
Kabupaten Paniai
45.340 Ha
10.566 Ha
16.867 Ha
2. PT. Antam Tbk Penyelidikan Umum 37.588 Ha Tembaga, Emas dmp
Kabupaten Pegunungan Bintang
49.740 Ha
49.920 Ha
49.830 Ha

Tabel Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi

Nama perusahaan/ Kep.gub.no.kp/ tgl/Tahap/jenis/Luas Lokasi Kab/kota Masaberlaku
1. PT. Anugerah Sentani Nikel 51/2007 (02-04-2007) KP. Eksplorasi
Nikel 25.537 ha Kabupaten Jayapura 3 Tahun
2. PT. Bumi Teknik Mandiri 57/2007 (02-04-2007)
KP. Eksplorasi Emas dmp19.600 ha Kabupaten Nabire, Kab. Paniai,
Kab. Waropen 3 Tahun
3. PT. Sinar Indah Persada 158/2007(10-09-2007)
KP. Eksplorasi Nikel Blok I :10.580
Blok II : 5.396 Kabupaten Jayapura 3 Tahun
4. PT. Sinar Indah Persada 159/2007 (10-09-2007)
KP. Eksplorasi Nikel 100.000 ha Kabupaten Keerom 3 Tahun
5. PT. Sinar Indah Persada 158/2007 (10-09-2007)
KP. Eksplorasi Nikel Blok I :10.580
Blok II :5.396 Kabupaten Jayapura 3 Tahun
6. PT. Sinar Indah Persada 159/2007 (10-09-2007)
KP. Eksplorasi Nikel 100.000 ha Kabupaten Keerom 3 Tahun
7. PT. Karya Manunggal 166/2007 (21-9-2007) KP. Eksplorasi
Batubara 50.000 ha Kabupaten Mamberamo Raya 3 Tahun
8. PT. Papua Inti Energi 167/2007 (21-9-2007)KP. Eksplorasi
Batubara 50.000 ha Kabupaten Mamberamo Raya 3 Tahun

Strees pada Anak Lebih Berbahaya


KabarIndonesia - Kelihatannya sepele tetapi tampaknya stress pada anak-anak justru lebih membahayakan sebab akan memberikan dampak hingga mereka mencapai usia dewasa. Bahkan dalam melanjutkan pendidikan, mereka tidak bisa melakukan perbuatan yang terbaik karena merasa tertekan. Hal ini justru akan mengakhiri hidup mereka sendiri.

”Jangan memaksakan anak-anak di TK untuk bisa membaca, menulis dan sebagainya sebab masa belajar tersebut hanya bisa dilakukan pada anak-anak kelas 1, kelas 2 dan kelas 3,” ujar Direktur Sekretaris Eksekutif YPPK, kota dan kabupaten Jayapura, Drs. Wiran kepada HOKI Sabtu (19/9) di Jayapura.

Jadi intinya menurutnya, anak-anak sekolah di Taman Kanak-kanak (TK) lebih mengutamakan kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan lebih mengutamakan kejujuran, kecerdasan budaya mengajar agar menghargai budaya orang lain. Bahkan Romo Eko dari Paroki Gembala Baik Abepura pun menegaskan anak-anak jangan terlalu dipaksakan untuk masuk jenjang pendidikan SD, apalagi usianya baru mencapai lima atau enam tahun. Lebih lanjut ditegaskan Romo Eko, orang tua jangan terlalu memaksa anak-anak untuk masuk sekolah sebelum usia tujuh tahun.

”Pasalnya dalam usia dini yang diperlukan adalah guru dan orang tua harus memberikan teladan bagi mereka," ujar Romo Eko, Pengawas TK Bintang Kecil.

Anak-anak cenderung akan meniru apa saja yang biasa dilakukan oleh para guru mau pun orang tua termasuk lingkungan di mana mereka berada.

"Saya harapkan agar jangan terlalu memaksakan anak-anak untuk belajar sebab pada usia dini mereka lebih cenderung bermain dan meniru perilaku orang di sekelilingnya," ujar Romo Eko.

Hal senada juga dikatakan Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) Atik Rismiharti, A Ma.Pd namanya juga taman kanak kanak jadi lebih mengutamakan anak-anak untuk bermain, kalau pun ada yang bisa menulis, membaca dan lain lain bukan berarti semua harus mampu.

”Tapi biarkanlah anak-anak itu berkembang sesuai dengan tingkat dan kemampuannya,” ujar Atik seraya menegaskan tanggung jawab pendidikan anak-anak terutama juga pada orang tua karena waktu mereka lebih banyak berada di rumah.

Namun dia menambahkan, seringkali justru orang tua menyerahkan seluruh tanggung jawab pendidikan anak-anak justru kepada guru di sekolah, termasuk juga di Taman Kanak-kanak atau TK. Celakanya lagi kalau orang tua sudah melepaskan anak-anak mereka bersekolah, baik di Taman Kanak-kanak, SD dan sudah menjadi tanggung jawab guru. Tidak semua anak-anak memperoleh keberuntungan untuk melanjutkan sekolah terutama karena kesibukan orang tua.

Marthen Dou, warga Dok V Kota Jayapura mengatakan, anak-anak di daerah lembah Sabang Merauke Dok V Atas banyak yang tidak mendapat perhatian dari orang tua lagi.

”Baik karena orang tua cerai atau karena sibuk kerja dan tidak ada lagi waktu untuk memperhatikan anak-anak mereka,” tegas Dou. Akibatnya kata Douw, mereka berkeliaran di kota Jayapura dan sudah mengenal miras serta mencium aibon.

”Mereka bisa dipanggil anak-anak aibon,” kata Marthen Douw. Rombongan anak-anak aibon ini semakin besar dengan banyak pula saudara-saudara mereka yang datang dari Nabire kalau kapal putih masuk dan bergabung juga dengan saudara mereka di Argapura Pipa.

Marthen mengakui di wilayah Lembah Jalan Sabang Merauke Dok V telah dibangun Pendididikan Anak Usia Dini (PAUD) oleh YPPK Kota Jayapura tetapi anak-anak putus sekolah juga banyak, sehingga lingkungan di sana tak begitu mendukung.

”Saya melihat lingkungan juga turut mempengaruhi kehidupan anak-anak, sehingga bisa terjun ke dunia anak-anak aibon,” tegas Marthen Douw. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak kecil di Papua untuk merasakan mabuk tanpa meneguk minuman keras. Dengan bermodalkan beberapa ribu rupiah dan membeli sekaleng lem aibon sudah mabuk dan teler. Karena sering menghirup gas lem aibon, maka anak-anak pecandu lem aibon dipanggil anak-anak aibon. Mereka mungkin bisa dikategorikan anak-anak terlantar tetapi agak sulit karena orang tua mereka masih ada. Kalau pun masih ada juga tidak lengkap hanya seorang saja. Bahkan anak anak aibon di Lembah Sabang Merauke Kota Jayapura, justru tinggal bersama mama-mama mereka.

”Ada yang sudah janda,” tegas Marthen Douw yang juga baru ditinggal istrinya karena kawin lagi.

Pendidikan bagi anak-anak usia dini sangat penting tetapi tak semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya perhatian utama jelas dari orang tua guna mengontrol dan memperhatikan perkembangan usia mereka sejak usia dini. Celakanya kalau hanya sebagai single parent atau hanya seorang diri dalam membesarkan dan mendidik anak-anak, justru akan menambah beban di kemudian hari. Namun yang jelas kata Atik Rismiharti, Kepala Sekolah TK YPPK Bintang Kecil yang mengutip pernyataan Pastor Dorothy Law Nolte berjudul Anak Belajar dari Kehidupannya, ”Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki,” ujar Atik seraya memberikan contoh kalau mengatakan anak bodoh jelas akan memberi pengaruh buruk.

Selanjutnya jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Bahkan jika anak dibesarkan dengan rasa takut, ia belajar gelisah.

”Jadi jangan kita katakan pada anak, ada hantu jelas akan memberikan perkembangan yang tidak baik,” kata Atik. Lebih lanjut urai dia, jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian. Begitu pula kata dia melanjutkan pernyataan Dorothy Law Nolte, jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Bahkan jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri. Begitu pula jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.

"Terkadang orang tua memarahi anak-anak kalau tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik tetapi sebaliknya harus memuji agar mereka tidak merasa dipermalukan," ujar Atika seraya menambahkan jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar menyenangi diri. Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan dan selanjutnya jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan. Bahkan kata dia jika anak disesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta di dalam kehidupan. Memang pesan ini sangat ideal tetapi agak sulit untuk dilakukan sebab terkadang anak-anak suka meniru apa yang selalu dilakukan oleh kedua orang tua mereka. Salah satu contoh klasik ialah ketika orang tua suka menyebut nama-nama kebun binatang di rumah, otomatis anak-anaknya akan tidak segan menyebut kata anjing, babi dan monyet bagi sesama manusia, termasuk teman bermain mereka. Salah siapa kalau sudah terlanjur meniru kesalahan dan kekeliruan orang tua?(*)

Teror dan Kekejaman


KabarIndonesia - Mungkin kita agak sedikit terkesima dengan tertembaknya Abdulah di Temanggung. Siaran langsung oleh dua TV Berita ternama di Indonesia selama proses pengepungan. Bahkan semula operasi Temanggung diduga Nurdin M Top ternyata bukan. Dia bagaikan belut, sangat licin dan selalu mengecoh para pemburunya.

Namun dalam dua bulan kemudian sang belut alias Nurdin M Top tewas di Solo. Patut kita beri acungan jempol kepada aparat Kepolisian Republik Indonesia khususnya Densus 88. Di sini bukan berarti NMT tewas dan terror pun selesai sudah. Persoalannya adalah bagaimana melakukan kontra terror untuk mencegah munculnya gerakan yang memakai terror sebagai sebuah pilihan terburuk. Tugas ini jelas bukan menjadi tugas aparat Kepolisian semata tetapi semua pihak terutama pemerintah. Walau demikian, sebenarnya aparat kepolisian harus siap dan tanggap menghadapi teror dalam berbagai bentuk bentuk dan ancamannya. Termasuk gejala-gejala yang mencurigakan. Bukan berarti pihak aparat mampu berjalan sendiri. Keterlibatan warga negara dalam memberikan informasi layak diperlukan. Namun itu bukan berarti persoalan sudah selesai, warga juga diambang ketakutan antara memonitor aktivitas mereka yang dicurigai atau melakukan aktifitas rutin sehari hari. Tragisnya lagi kalau yang terjadi adalah salah curiga dan salah informasi. Faktor kenyamanan dan keamanan ternyata bukan pekerjaan yang terjadi seketika. Butuh proses dan perilaku hidup yang jujur serta merasa berdosa kalau membuat kesalahan sekecil apapun.

Bohong dan menipu kalau dianggap biasa maka itu adalah petaka awal di lingkungan kerja atau pun aktivitas sehari hari. Sebenarnya ancaman teror bom bukanlah sesuatu yang baru di dunia ini, sebab dalam novel Joseph Conrad’s berjudul The Secret Agent sudah mengungkap kerja-kerja teror mulai dari bom surat hingga bom yang lebih dasyat lagi. Mungkin novel Joseph Conrad’s bisa dianggap sebagai inspirasi bagi kaum terorisme di benua Asia, Afrika, Amerika dan Eropah. Selain itu sekitar 1982 Christopher Dobson dan Ronald Payne menulis buku berjudul The Terrorists Their Weapons, Leaders and Tactics memasukan banyak group-group teror dari seluruh dunia di Jerman ada group Baader Meinhof Gang (Red Army Faction), Jepang punya The Red Army (Sekigun). Palestina dengan The Black September yang meledakan bom di lokasi penampungan atlit Israel dalam Olimpiade di Munich Jerman Barat. Irlandia IRA maupun Irish National Liberation Army (INLA).

Bahkan peristiwa penyanderaan anak-anak sekolah dalam kereta di Assen negeri Belanda oleh Republik Maluku Selatan (RMS) pada 23 May 1976 pun dicatat dengan baik dalam tulisan Christopher Dobson dan Ronald Payne. Teroris era 1970 an telah melahirkan tokoh teroris yang paling ditakuti agen-agen rahasia di dunia saat itu termasuk Mossad. Teroris itu adalah Carlos atau nama aslinya Illich Ramirez Sanchez, ia diduga binaan agen-agen rahasia KGB bekas negara adidaya Uni Soviet dan sekarang sudah diadili di pengadilan Amerika Serikat (USA). Tumbangnya Uni Soviet dan negara-negara komunis menyebabkan terorisme pun berkurang. Tapi itu bukan berarti konflik-konflik telah tuntas dan berakhir malahan semakin membengkak. Ironisnya teror bom semakin berkembang dan canggih.

Memasuki 2000 an , tepatnya 11 September 2001 kita dikagetkan lagi dengan model teror baru tanpa senjata dan bom. Pesawat American Airline AA No.11 menabrak utara World Trade Center (WTC) New York. Pesawat United Airline UA No.175 menabrak menara selatan gedung WTC. Sejak kejadian itu tuduhan kepada Osama Bin Laden semakin kuat. Kini insinyur sipil kelahiran Ryadh, 1957 termasuk orang yang paling dicari-cari oleh pemerintah Amerika Serikat. Walau pun Osama membantah dengan mengatakan,”Saya tidak terlibat, saya hanya seorang tamu di Afganistan. Jika mereka punya bukti saya siap. ”Mungkin kita simak pernyataan Gary Barnes dalam buku tim redaksi Hot Copy berjudul, Osama Bin Laden, Teroris atau Mujahid?“

Sepanjang sejarah, manusia telah saling menghancurkan sesamanya dalam berbagai medan pertempuran. Dan perang tidak pernah berakhir. Kekejaman terbukti tidak akan berakhir ketika kekejaman dibalas dengan kekejaman pula. ”Yang bisa menghentikan kekejaman adalah kehidupan tanpa dosa” Mungkinkah manusia hidup di dunia ini tanpa berbuat dosa.