Jumat, 25 September 2009

Hasil Analisis: Tiga Sungai di Mimika Berpotensi Racun

Pada 1999 lalu masyarakat di Kampung Omawita, Kabupaten Mimika mengeluh akan cita rasa tambelo (Bacthronophorus thoracites dan Bankia orcuti), siput dan kerang di wilayah mereka. Wilayah Kampung Omawita berada di luar lokasi konsesi PT Freeport (PT FI), tetapi ternyata ikut terkena dampak limbah tailing.

Atas keluhan masyarakat maka IPB, Uncen dan beberapa LSM di Papua melakukan penelitian. Yaitu Study On Mollusc Consumption Among People Reside Around Mimika’s Estuaries. Hasil studi itu menyebutkan tambelo, sipu, dan kerang (TSK) berubah warna menjadi binti-bintik hitam dan rasanya pahit. Sebagian besar penduduk menganggap cita rasa dan warna ini terjadi karena pengaruh limbah tailing di sungai-sungai mereka.

Begitu pula dalam disertasi dari Prof. Dr. Karel Sesa, MSi, Dekan Fakultas Ekonomi Uncen berjudul “Analisis Manfaat Ekonomi dan Dampak Lingkungan PT Freeport Indonesia Company”, di Tembagapura, Timika, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, pada 2007 menulis bahwa setelah adanya PT Freeport Inc, ternyata 10 % menyatakan sumber air minum baik, sedangkan sebanyak 90 % menyatakan sumber air minum tidak baik di Kampung Kali Kopi, Kampung Nawaripi, Kampung Nayaro, Kampung Tipuka, Kampung Fanamo dan Kampung Omawita.

Hal itu terjadi akibat akumulasi sedimen tailing yang terus meningkat di sungai-sungai terutama Sungai Aijkwa sebagai Area Deposision Aijkwa (ADA). Akumulasi itu terus meningkat karena kapasitas produksi terus meningkat dari 240.000 ton per hari hingga mencapai kapasitas maksimal sebesar 300.000 ton bijih per hari atau 300 K pada pasca penutupan tambang 2001.

Salah satu hasil kajian terkini yang diterima oleh penulis berjudul Studi Kajian Dampak Lingkungan Kabupaten Mimika, 2009. Semula seminar hasil kajian ini akan dilakukan pada Jumat (27/2) tetapi ditunda hingga batas waktu yang ditentukan kemudian.

Namun demikian, media lokal di Papua telah mempublikasikan hasil kajian ini. Berikut penulis mengutip seutuhnya hasil studi kajian dampak lingkungan Kabupaten Mimika, Februari 2009.

Dalam kajian itu menyebutkan, hasil analisis contoh sedimen perairan muara Minajerwi menunjukan terdapat tiga fraksi sedimen, yaitu pasir, lanau dan lempung. Fraksi pasir (sand) berkisar antara (12.55-65 %), lanau (silt) (12,24-22,12 %), dan lempung (clay) (21.89-75,20 %). Dapat dilihat bahwa presentase pasir tinggi pada lokasi 2 (EM 430) yang berada di bagian dalam muara dan lumpur tinggi pada lokasi 2 (EM 264) yang berada di bagian luar muara.

Fraksi pasir akan terkonsentrasi di bagian tengah aliran sungai, sedangkan fraksi yang lebih halus akan tersebar di bagian sisi atau luar aliran. Fraksi halus akan melayang terbawa oleh aliran dan menyebabkan warna air menjadi keruh. Semakin keruh memperlihatkan konsentrasi fraksi halus semakin tinggi. Seperti tampak pada lokasi 3 (EM 264).

Pemeriksaan sedimen terlarut total (Total Dissolved Sediment/TDS) menunjukkan satu contoh (EM 264) berada di bawah baku mutu dan dua contoh berada (18-24 kali lipat) di atas baku mutu yang ditetapkan. Pemeriksaan sedimen tersuspensi total (Total Suspended Sediment/TSS) menunjukkan hasil yang sangat signifikan di luar baku mutu yang ditetapkan atau berada 10-170 kali lipat di atas baku mutu yang ditetapkan.

Dari hasil pemeriksaan terhadap tiga contoh air maupun sedimen menunjukkan bahwa TDS yang sangat tinggi memperlihatkan telah terjadi perubahan yang sangat siginfikan di wilayah daratan, di antaranya aktifitas penggalian dan penambangan. Sistem operasi penambangan yang ditetapkan dinilai telah melampaui kemampuan atau daya dukung lingkungan, seperti sungai dan pantai, sehingga secara kuantitas dan kualitas air menjadi berkurang.

Potensi Racun

Dari hasil kajian tiga titik sampel air pada muara sungai di daerah estuary menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan cukup ekstrim pada komponen minyak/lemak, sulfat (SO4), chlorid (Cl), mangan(Mn), tembaga (Cu), timbal (Pb) dan mercury (Hg).

Hal yang mengkhawatirkan, beberapa parameter ini merupakan logam berat, yang artinya bahwa logam tersebut tidak mengalami transportasi bentuk (persitent), sehingga menyimpan potensi racun (toksitas) laten sebagai bom waktu kimia.

Penelitian kualitas air terambil dari tiga sungai berbeda yaitu muara sungai Tipoeka, Ajkwa, dan muara sungai Minajerwi, daerah estuary Kabupaten Mimika, pada 29 September 2008 lalu. Seperti telah dijelaskan, beberapa komponen kualitas air sungai mengalami peningkatan yang cukup ekstrim dibanding lainnya.

Parameter kualitas air muara sungai Tipoeka, Ajkwa dan Minajerw, Kabupaten Mimika menunjukkan peningkatan signifikan dari 30 parameter yang diuji. Ternyata 19 parameter atau 63 persen peningkatan hampir dua kali lipat, bahkan bisa lebih. Parameter yang mengalami peningkatan terdapat pada padatan kimia non logam dan logam berat.

Untuk aspek biologi, dari hasil kajian tentang keanekaragaman plankton menunjukkan komposisinya tidak beragam atau sangat rendah. Hal ini menunjukkan kondisi perairan kaya bahan organik. Faktor yang mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman plankton adalah muara Sungai Minajerwi atau pesisir Laut Arafura yang kondisi perairannya sangat berarus dan penimbunan memberi dampak buruk bagi biota yang ada di dalamnya. Faktor lain yang turut juga mempengaruhi adalah volume arus air laut yang cukup tinggi yang berakibat bergeser atau berpindahnya plankton.

Bentos dan nekton juga mengalami penurunan. Hal ini sudah sangat jelas sekali dari realita yang ada. Dengan air sungai yang keruh maka jelas biota yang hidup adalah biota yang survive atau mampu bertahan. Artinya, bentos dan nekton yang tidak dapat bertahan hidup di air yang keruh akibat limbah tailing akan menyingkir atau punah, tetapi biota yang tetap survive dengan lingkungannya akan tetap hidup. Biota tersebut adalah ikan gabus (Arius sp) dan udang.

Dampak lain yang timbul dari tailing yaitu telah merusak komponen biologi lainnya seperti vegetasi tepian sungai (mangrove) yang mengalami pengeringan. Oleh karena itu, perilaku membuang tailing ke badan sungai dapat pula menurunkan kualitas air sungai dan mengancam kepunahan biota yang ada di dalamnya.

Sesuai dengan hasil kajian dan studi ini maka para peneliti menyimpulkan antara lain, berdasarkan sifat kronis dari limbah tailing maka bisa dikatakan tailing dikategorikan sebagai limbah (B3), yaitu dengan melihat faktor pembatas jumlah limbah yang dihasilkan pada suatu tempat atau secara regional atau secara nasional berjumlah besar dan juga potensi berimigrasinya tailing ke media lingkungan memiliki kemungkinan yang sangat besar dengan melihat medan (terrain) pada aliran tailing sampai dengan Daerah Pengendapan Ajkwa (DPA).

Berdasarkan hasil temuannya, maka para peneliti dalam kajiannya tersebut menyarankan perlunya meninjau kembali sistem pembuangan, penahanan, dan pengangkutan limbah tailing, mulai dari sumber tailing sampai dengan muara Sungai Aijkwa, dengan menggantikan Sistem AOA (Aghwagon, Otomona dan Ajikwa) menjadi sistem Pipanisasi.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 dalam pengelolaan limbah B3 maka peraturan ini secara tegas melarang adanya kerusakan yang ditimbulkan adanya limbah B3 terhadap lingkungan hidup, manusia dan makhluk hidup lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa sekalipun tailing telah dikelola di Daerah Pengendapan Aijkwa, akan tetapi makhluk hidup dan ekosistem di kawasan tersebut telah mengalami kerusakan.

Adapun status tailing PT Freeport Indonesia terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang tata pengaturan air menunjukkan bahwa Sungai Aghwagon, Otomona dan Aijkwa perlu ditinjau kembali perijinannya, mengingat berdasarkan tata pengaturan air kurang memperhatikan untuk kepentingan perlindungan, pengembangan dan prioritas penggunaan air dan/atau sumber air

Tidak ada komentar:

Posting Komentar