Jumat, 25 September 2009

Ketika Hutan Papua Berubah Fungsi


KabarIndonesia - Fakta menunjukan bahwa tanah Papua merupakan surganya para pencinta hutan tropis, sebab mulai dari Sumatera dalam pengamatan penulis bersama Kapal Rainbouw Warrior pada November 2007 lalu dalam kampanye penyelamatan hutan, ternyata hutan tropis Sumatera tinggal kenangan. Yang tumbuh hanya hutan karet, dan hutan perkebunan sawit. Pelabuhan Dumai di Provinsi Riau merupakan salah satu pelabuhan CPO teramai di Indonesia. Ramainya pelabuhan Dumai telah mengalahkan pelabuhan Belawan karena ratusan ribu ton CPO di eksport dari pelabuhan ini. Waktu itu Kapal Rainbouw hendak memblocking kapal tanker MV Westama Monrovia yang hendak mengangkut 300.000 ton CPO ke India tetapi ternyata kapal itu lolos dari terjangan kapal layar bermesin milik NGO Internasional itu. Hutan Kalimantan pun mengalami nasib serupa hutan hilang dan rotan pun ikut terhimbas, lalu masyarakat Dayak hanya bisa menatap ribuan log lewat di depan batang hidung mereka. Hutan sudah berubah jadi hutan industri mau pun perkebunan kelapa sawit. Ironi memang, sementara negara tetangga Malaysia dan Singapura berusaha menghijaukan hutan mereka seolah olah mereka merupakan hutan tropis terlengkap dengan memiliki ribuan spesies dan keanekaragaman hayati yang besar. Bukan hanya di Kalimantan dan Sumatera tetapi hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat dua provinsi pemilik hutan tropis terbesar di Indonesia kini sedang menunggu giliran untuk ditebang satu demi satu atas nama investasi dan kesejahteraan masyarakat. Memang investasi penting tapi tolong jangan rusakan hutan tropis terakhir kebanggaan masyarakat Indonesia di tanah Papua. Padahal hutan bagi masyarakat adat Papua adalah gudang penyimpan makanan dan obat obatan tradisional. Mereka meyakini bahwa tanpa adanya hutan berarti lambat laun mereka akan terhempas dari rimba belantara penghasil daging buruan seperti babi hutan. Para pemburu di Lembah Juk Distrik Kaureh Kabupaten Jayapura Provinsi Papua yakin jelang musim buah Matoa pada bulan Desember sudah pasti banyak burung nuri yang memakan buah matoa. Malam harinya kelelawar pun ikut mencari buah Matoa khas Papua yang manis dan gurih. Biji biji matoa yang jatuh di dekat pohon merupakan makanan enak bagi babi hutan dan juga burung burung kasuari. Saat itulah para pemburu mulai beraksi memanah burung Kasuari dan babi hutan. Kini kalender musiman masyarakat adat untuk berburu sudah berubah sebab pohon pohon Matoa tempat bermain burung Nuri dan kakatua telah ditebang dan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Sebanyak 20.000-30.000 Hektar Lembah Juk di Kaureh telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit milik PT Sinar Mas. Bagi perusahaan Sinar Mas masyarakat ada di sana telah memperoleh kompensasi sehingga adalah sangat wajar kalau hutan hutan itu berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat adat jelas pasrah karena jumlahnya sedikit dan berburu pada areal yang luas tentu tak punya posisi tawar yang kuat. Pasalnya demi meraih devisa dan sebuah investasi masyarakat adat kaum pemburu harus tersingkir dari pola pola kehidupan yang kita anggap primitif dan tidak modern. Kabupaten Keerom Provinsi Papua adalah salah satu gambaran buram penduduk asli di sana yang mengalami benturan budaya antara jadi buruh perkebunan sawit dan kebiasaaan berburu. Pemerintah mulai membuka Perkebunan Sawit di sana pada 1982/1983. Tujuannya untuk mensejahterahkan masyarakat. Masyarakat asli Keerom yang sebelumnya hidup sebagai peramu dengan mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupannya, berubah menjadi pola ekonomi produktif dengan gaji bulanan dan kewajiban membayar kredit. “Masyarakat mengalami shock culture,”ujar Bruder Edi Rosariyanto dalam penelitian SKP Keuskupan Jayapura di Dekenat Keerom kepada penulis di Jayapura. Bukan itu saja lanjut Bruder Edi di bidang pangan, anak-anak cenderung makan nasi yang tidak mereka produksi sendiri daripada papeda (sagu makanan pokok) yang merupakan makanan turun temurun. Pola bertani masyarakat asli juga berubah dari peramu, meloncat ke sistem modern. Dan permasalahan yang lebih besar adalah konflik yang ditimbulkan oleh pelepasan tanah. Konflik dari masyarakat atas tanah ulayat mulai muncul sejak keluarnya SK Bupati No. 31/KPTS/BUP-JP/1983. Menurut Rosariyanto, melalui surat itu masyarakat merasa ditipu karena perubahan lokasi tidak sesuai dengan pelepasan tanah adat yang disepakati. Masalah ulayat lainnya adalah rekognisi diserahkan kepada pihak yang tidak berwenang dan pelepasan dilakukan oleh pemilik yang tidak sah. Kenyataannya protes-protes masyarakat terhadap perusahaan justru menghadapkan mereka pada pihak keamanan “Karena sawit masyarakat akhirnya hidup dalam tekanan, penuh intimidasi oleh militer. Karena sawit masyarakat teraniaya. Masyarakat tidak hidup dari pohon-pohon kelapa sawit tapi dari hutan. Sebab itu lebih baik bawa sawit pergi, biar mereka hidup dengan cokelat saja,” kata Pater John Jonga, pimpinan Dikenat Keerom melengkapi pernyataan Bruder Edi. Permintaan masyarakat Arso semakin besar terutama ketika melihat petani dari Waris yang dapat menjual hasil cokelatnya dengan harga tinggi namun tidak kehilangan hutan sebagai sumber penghidupan mereka. “Kami mampu mengelola sawit. Namun dengan kondisi pabrik dan sistem pengelolaan seperti ini siapa yang bisa bertahan. Kalau cokelat berbeda, sebab dapat dikerjakan mam-mama dan anak-anak,” kata Markus salah satu petani Arso. Pemerintah daerah sepertinya juga memahami kebutuhan ini. Beberapa bantuan mulai diberikan untuk pengembangan cokelat di Arso. “Bantuan bibit cokelat sudah kami berikan, walaupun belum secara keseluruhan masyarakat menerimanya. Mereka bisa menanam cokelat di lahan pekarangan mereka. Dan sambil menunggu cokelat dan sawit menghasilkan kembali, kami sudah melakukan beberapa bantuan untuk ibu-ibu per paguyuban,” kata Celsius Watae, Bupati Kabupaten Keerom. “Namun memang belum merata. Per kelompoknya kami beri bantuan Rp 7 juta untuk mengembangan usaha ekonomi produktif bagi masyarakat,” lanjutnya. Namun dirinya enggan berkomentar tentang alih fungsi perkebunan sawit menjadi perkebunan cokelat. Kebun sawit di Arso, terutama PIR I dan II sudah berumur lebih dari 20 tahun dan tidak produktif lagi. Pohon-pohon sawit di sini sudah harus diremajakan kembali, sebab jumlah tandannya tidak sebanyak yang berusia 5 hingga 10 tahun. Jika dipanen, tandan yang jatuh dari ketinggiahan 8 meter mengakibatkan banyak buah sawit yang rusak dan juga memerlukan tenaga yang lebih besar untuk panen. “Tidak-tidak, saya tidak berani mengeluarkan statemen seperti itu. Tetapi jika dipandang terjadi monopoli harga, itu harus diakui. Tetapi perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apa yang benar-benar dapat mensejahterahkan masyarakat di sini,” kata Bupati Selain kehilangan hutan, masyarakat pribumi Arso menjadi minoritas. Jika diakumulasikan dengan seluruh orang Papua asli yang juga menetap di Arso (tiga distrik: Arso, Arso Timur dan Skanto), jumlah orang Papua asli hanya sekitar 28,4 persen dan non papua sekitar 71,6 persen. Dampak investasi bagi masyarakat pribumi dan non pribumi dalam segi lingkungan hidup, ekonomi, sosial, budaya, hak ulayat dan keamanan merupakan pekerjaan besar yang perlu diselesaikan oleh pelbagai pihak. Keseriusan untuk menyelesaikan persoalan antara petani, perusahaan dan pemerintah merupakan tanda bahwa kesejahteraan petani sawit merupakan salah satu tujuan keberhasilan Kabupaten Keerom. “Persoalan yang muncul akibat investasi perkebunan Arso perlu menjadi pelajaran berharga untuk pemerintah. Pemerintah harus betul-betul teliti dalam menerima investasi yang sejenis jika tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pribumi,” kata Rosariyanto. Ia berharap dengan penelitian ini dapat membantu tim pastoral Dekenat Keerom memahami situasi umatnya terkait dengan kesejahteraan petani sawit, menyadarkan masyarakat terhadap pilihannya di masa lalu terhadap perkebunan sawit dan membantu pemerintah menyikapi dampak investasi di Papua, khususnya di Kabupaten Keerom.


Cilakanya lagi tanpa belajar dari pengalaman masa lalu kini di Kabupaten Keerom telah dilakukan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru di sekitar Distrik Waris. Lahan seluas 26.000.000 hektar itu akan dibangun 20.000 hektar perkebunan baru dan 6.000 hektar sebagai lokasi pabrik dan permukiman karyawan dan staf.
Jika melihat sejarah pemanfaatan sektor kehutanan di tanah Papua, memang dimulai sejak penjajahan pemerintah Belanda melalui Nederlands Nieuw Guinea dengan membangun pusat kehutanan di Manokwari.
Sekitar tahun 1955, Pemerintah Nederlands Nieuw Guinea membangun pabrik pengelolaan kayu untuk diekspor. Dalam buku Papua on the Threshold of Self Determination ditulis "...towing timber out to Manokwari, timber export....". Dari Manokwari kayu sawmill itu dikirim keluar Papua untuk diekspor dan juga untuk pembangunan perumahan di seluruh tanah Papua.
Kembalinya tanah Papua ke dalam pangkuan NKRI lebih meningkatkan lagi aktivitas pemanfaatan sumber daya alam termasuk pengelolaan hutan. Apalagi saat itu ekonomi Pemerintah Indonesia masih membutuhkan dana sehingga investasi menjadi salah satu andalannya. Pada tahun 1967 PT Freeport Indonesia dan Bechtel Construction mulai membuka hutan dan dataran bakau Mimika dan Cartensz untuk mulai menggali tembaga, emas, dan perak.
Kemudian kegiatan FUNDWI di Papua membuka sawmill di daerah Holtekamp Kota Jayapura sekitar tahun 1968, yang kemudian dikelola oleh PT Hanuratta. Selanjutnya kegiatan HPH mulai marak di Provinsi Irian Jaya dan pembagian areal hutan kepada para investor mulai dilakukan tanpa melibatkan masyarakat di sekitar hutan.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Tanah Papua dimulai tahun 1975-1990 hanya terdapat 20 perusahaan (21 unit), tahun 1991-1995 tercatat penambahan 27 perusahaan (33 unit) dan tahun 1996-2000 ada 7 perusahaan lagi, sehingga total seluruhnya mencapai 54 perusahaan pemegang HPH di Tanah Papua. Namun yang masih beroperasi awal tahun 2000 tinggal 23 HPH saja, tetapi itu pun tidak berjalan dan stagnan, selebihnya tinggal menunggu waktu untuk guling tikar.
Menurut data dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua pada 2007 ini, tercatat jumlah HPH/IUPHHK yang mendapatkan ijin konsesi sebanyak 35 unit dan yang aktif hanya 15 unit dan selebihnya stagnan sebanyak 20 HPH.
Pemegang Hak Pengusahaan Hutan di Provinsi Papua diberikan target penebangan tahunan (AAC) selama tahun 1995/1996 sampai 1999/2000 rata-rata 24.460-250.680 m3/tahun dari target 5.533.817 m3/tahun (22 %) sebelumnya setiap perusahaan. Padahal rata-rata yang akan habis masa berlakunya sampai dengan tahun 2018 dan untuk mencabut pemegang HPH dibutuhkan proses panjang karena mereka sudah membayar ijin untuk pengelolaannya sebelum melakukan operasi di areal konsesi mereka.
Laju deforestasi di Papua cukup tinggi, data Baplan (2002) menunjukkan rata-rata laju deforestasi pada periode 1985-1997 mencapai 117,523 ha per tahun. Sedangkan data terakhir dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua melalui Kepala Balai, Noak Kapisa, laju deforestasi sebesar 0,13 juta hektar per tahun atau 130.000 hektar per tahun.
Sedangkan jenis-jenis kayu yang bernilai ekonomis di Provinsi Papua adalah jenis matoa (Poteia spp), medang (Litsea spp), bintanggur (Callophyllum spp), libani (Pterigatha spp), tertentang (Campnosperma), kayu susu (Alstonia spp), Duabangga mallucana, Manilkara spp, Homalium futidumbena, binuang (Octomeles sumatrana) dan merbau (Instia spp).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar