Jumat, 25 September 2009
Investasi dan Transparansi Perusahaan Tambang Sebuah Impian
KabarIndonesia - Grasberg, sebuah puncak gunung di tengah rimba tropis Papua ternyata menyimpan kekayaan mineral yang kelak ternyata berharga lebih dari US $ 77 milyar. Gunung penyimpan mas dan tembaga itu telah digali terus menerus hingga menyisakan lubang raksasa di Ertsberg dan sebentar lagi Grasberg menanti gilirannya untuk menjadi danau diketinggian empat ribuan.
Namun yang jelas pengalaman selama ini hampir kebanyakan perusahaan baik asing mau pun nasional selalu berhubungan langsung dengan pemerintah pusat dan daerah. Ironinya masyarakat di sekitar sumber daya alam (SDA) tidak mengetahui kalau arealnya mengandung potensi yang akan dikelola. Bahkan terkadang mereka sangat miskin padahal mereka sebagai pemilik dan bukan korban. Faktanya hampir 80% warga Papua berada dalam jeratan kemiskinan dengan urutan pertama daerah miskin di Indonesia.
“Ada filosofi dari para orang tua di Papua kalau seseorang berada didekat api berarti dia merasa panas terlebih dulu, tetapi kenyataannya tidak terjadi seperti itu. Karena biasanya orang asli Papua pemilik hak ulayat justru dipindahkan jauh dari lokasi pertambangan yang kemudian tidak diperhatikan,” ujar Lindon Pangkali mantan aktivis Forest Wacht Indonesia (FWI) Regio Papua dalam Seminar dan Lokakarya Mendorong Transparansi Pengelolaan Industri Extraktif (digali) di Papua,” sebuah upaya mencari bentuk keterlibatan yang efektif pemerintahan daerah dan organisasi-organisasi masyarakat sipil di Jayapura belum lama ini.
Jadi tak heran kalau orang Papua sejak dulu sudah menjadi korban lanjut Pangkali pasalnya warga Papua di sekitar hutan bertahun tahun melihat logging lewat di depan batang hidung mereka. “Begitu juga mereka yang hidup di sekitar lokasi pertambangan, sama saja nasibnya,”ujar Pangkali seraya menyebut setiap ada eksploitasi tambang, gas dan sumber daya alam lainnya mereka tak pernah merasa hangat nya atau nikmatnya hasil investasi. “Saat itu kutukan terhadap sumber daya alam justru berlaku pada mereka sebagai pemilik sumber daya alam,”tegas Pangkali.
Kini di jaman UU Otsus dan transparansi harapan masyarakat agar bisa terbebas dari kutukan sumber daya alam semakin mengecil ataukah tambah besar dan merambah ke segala sektor?
Meski sudah ada UU Otsus Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP) tetapi kasus kasus pertambangan di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua justru mengorbankan masyarakat adat setempat. Masyarakat pemilik tambang ditangkap karena mengelola tambang dan tidak diberi ijin.
Ibu Ani Sabami anggota MRP dari Pokja perempuan MRP menyebutkan ada banyak pelanggaran terhadap SDA di Papua seperti Nikel di Raja Ampat, Gas Alam Cair di Bintuni.
“Perlu ada sinkronisasi antara Undang-undang No. 4 tahun 2009 dan Undang-undang No. 21 Tahun 2001. Usulan saya perlu ada pertimbangan tetang transparansi karena itu harus ada keberpihakan terhadap orang Papua,” ujar Sabami.
Selanjutnya kata dia terkait pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) namun realita yang ditemui MRP , pemerintah selalu megacu kepada kebijakan sektoral, padahal Indonesia adalah anggota PBB yang seharusnya mengambil referensi dari dunia Internasional
harapan terhadap UU Otsus Papua ternyata tak semudah membalikan telapak tangan untuk memperoleh semua kemudahaan agar terhindar dari sebuah kutukan sumber daya alam.
Pemerintah dan DPRP belum secara tuntas membicarakan pelaksanaan UU Otsus Papua beserta perangkat perangkat lainnya seperti Perdasus dan Perdasi. Kini investasi pertambangan berjalan seiring dengan pemekatan provinsi dan kabupaten. “perlu dilakukan studi kelayakan dari Pemda,” ujar Lemok Mabel Dewan Adat Wilayah Baliem. Bagi Mabel masalah investasi sangat sulit sebab kepentingan pemerintah lebih besar dari pada masyarakat. “Harus ada proteksi terhadap orang Papua dulu baru kemudian berbicara investasi di Papua,”kata Mabel. Menurut dia semua pihak harus menyepakati perlindungan terhadap masyarakat asli Papua, pasalnya penduduk Papua sedikit dan siapa yang mau bekerja. “UU Otsus Papua juga harus memiliki pasal pasal rujukan yang melindungi atau memrotek penduduk asli Papua,” tegas Lemok.
Terkait dengan masalah investasi mau pun transparansi, Abraham Fonataba Direktur Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menanyakan hampir sebagian besar masyarakat di Papua tidak mengetahui untuk apa dana royalti dari PT Freeport digunakan. Menurut dia masyarakat berhak mengetahui dana dana dari perusahaan yang berinvestasi di Papua dipakai untuk kepentingan apa dan bagaimana bentuk pertanggungan jawabannya. Memang selama ini Pemprov Papua memperoleh royalty sekitar 80 persen sedangkan pemerintah pusat 20 persen.
Sekitar lima tahun lalu sebanyak, 80 persen bagian untuk Pemprov Papua adalah senilai Rp 120-150 miliar. Dana itu digunakan untuk pembangunan di Papua serta daerah-daerah sekitarnya.
Sedangkan bagi masyarakat Amungme dan Suku Kamoro di Kabupaten Mimika memperoleh dana satu persen. Bagi Markus Haluk sangat mengherankan karena dana satu persen tidak jelas asal usulnya dan baru diberikan sekitar 1998 lalu. “Mengapa sejak kontrak karya 1967 tidak dibayarkan kepada masyarakat,”ujar Markus Haluk Sekjen Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua.
Tidak Transparan
Budi Setyanto Direktur ICS Papua mengatakan tidak adanya transparansi yang memadai terhadap kontrak-kontrak investasi di Papua. “Artinya kalau kita mereview kembali dari investasi-investasi yang sebenarnya hampir semua kontrak-kontark itu tidak pernah diketahui atau tidak ada informasi baik itu oleh pemerintah provinsi, pemkab dan pemkot,” ujar Budi.
Lebih lanjut urai Budi hal ini sangat tidak memadai terlebih dengan masyarakat pemilik konsesi sehingga menyulitkan semua elemen yang ada di Papua mengetahui secara persis, bagaimana bentuknya investasi dalam konteks industri-industri ekstraktif.
“Saya kira masalah ini tidak hanya di Papua saja tetapi juga di Kalimantan, Sumtera, hak kepemilikan adat yang menjadi wilayah konsensi ini juga tidak pernah diakui,”tegas Budi Setyanto.
Menurut dia hal ini sangat jelas sekali baik di PT.Freeport Indonesia, LNG Tangguh maupun yang lainnya pasti tidak ada perundingan terlebih dahulu. “Secara legalitas ini juga tidak ada pengakuan sama, bahwa ini adalah atau klaim dari negara bahwa penguasaan ditangan pemerintah yang kemudian merujuk kepada pasal 33 UUD 1945, dimana yang bersifat umum itu dikuasai negara yang ujung-ujungnya berwarna abu-abu atau tidak jelas,” ujar Budi Setyanto.
Masalah selanjutnya yang sangat krusial kata Budi Setyanto pihak investor tidak pernah memberikan ruang kepada masyarakat adat pemilik konsesi untuk terlibat sebagai pemegang saham dalam perusahaan. Misalnya saja masyarakat adat yang memiliki Gunung Grasberg yang kini ditambang PT Freeport dengan SDA yang melimpah, seharusnya masyarakat bisa ikut andil sebagai pemilik saham.
“ Tetapi memang sekali lagi tidak ada ruang yang diinformasikan atau diberitahukan kepada masyarakat terhadap apa yang menjadi kekayaannya itu,“ ujarnya seraya menambahkan pemerintah Indonesia juga menegaskan tidak perlu dibicarakan dalam kontrak karya II.
Tidak adanya keterbukaan dana bagi hasil antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat pemilik wilayah konsesi. Misalnya saja pada saat kita tanya tentang berapa jumlah persentase pendapatan yan diperoleh pemerintah pusat, daerah dan masyarakat adat dari hasil PT.FI, sehingga tidak ada rasa keadilan bagi masyarakat adat dan pemerintah di Papua. “Tetapi sayangnya kami belum bisa menggali data yang lebih banyak lagi,” ujar Budi Setyanto dalam pemaparan makalahnya.
Menurut dia soal pengembangan SDM lokal masih bersifat politis dan belum menjadi tanggung jawab perusahaan. Artinya bahwa tenaga kerja yang diakomodir dari masyarakat Lokal, ini nuansanya politis karena bukan merupakan tanggung jawab perusahaan tetapi merupakan kewajiban yang memang harus dilakukan.
Hal ini bisa terlihat dengan perjuangan Tongoi Papua sebuah organisasi karyawan asli Papua di PT Freeport memperjuangkan hak hak mereka antara lain membentuk Departemen Papua Affair. Sebuah departemen yang khusus menangani karyawan asal Papua.
Kemudian yang berikutnya, industri ekstraktif menimbulkan ekses/pencemaran lingkungan, pelanggaran HAM dan marginalisasi yang tidak tertangani secara baik. Ada perbedaan yang terjadi pada LNG Tangguh di Bintuni. Di mana pihak LNG Tangguh membangun pemukiman baru bagi masyarakat setempat sebelum perusahaan beroperasi telah diangun perumahan yang harganya sekitar 200 – 400 juta rupiah.
Industri ekstraktif pertama di Tanah Papua, menutur Ir N Maidepa adalah industri minyak oleh Bataafs Petrolium Maatshappey (BPM) di Babo di Teluk Bintuni sekitar tahun 1930-an. “Diatas bekas-bekas industri minyak ini diabad ke-21 ini berdiri pula industri gas pertama dibuka dengan nama LNG-Tangguh oleh Beyond Petrolium (BP),” ujar Maydepa yang juga anggota MRP.
Bersamaan dengan industri itu lanjut Maydepa beberapa pemuda di sekitar Babo dan Bintuni melahirkan banyak putra Papua di wilayah itu termasuk dirinya untukk dididik menjadi tenaga kerja di bidang gas dan minyak. “Saya belajar geologi ke luar negeri,” ujar Maydepa geolog pertama orang Papua. Namun kata Maydepa industri terbaru yang muncul dimuka Bumi Cenderawasih ialah LNG-Tangguh yang kepalanya dipegang Pusat, kekuasaan NKRI dan jari kelingkingnya dipegang oleh Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat, DPRP Provinsi Papua dan DPRP Papua Barat.
“Pendapatan daerah pada zaman kolonial dari industri minyak yang dipungut pemerintah menjadi pendapatan resmi Provinsi West New Guinea karena berstatus Otonomi,” kata Maydepa mantan Bupati Manokwari.
Namun yang jelas menurut Maydepa peluang untuk berkembangnya industri ekstraktif tetap ada dan cukup besar untuk MIGAS maupun pertambangan umum di Tanah Papua.
Walau demikian lanjut Maydepa peluang ini belum memberi manfaat, jika tetap didukung dengan regulasi yang melancarkan investasi dan demi kesejahteraan rakyat yang notabane memiliki hak ulayat .
Hal ini merupakan peluang besar jika industri ekstraktif berkembang pesat di tanah ini, walaupun sekarang disaat ini masih menjadi sebuah tantangan. Menurut Maydepa karena ada sharing pendapatan antara pusat pendapatan dan daerah penghasil. Tantangan yang lebih besar bagi daerah ialah presentase sharing dari revenue atau pendapatan asli. “Untuk demi kebaikan bersama perlu adanya regulasi yang baik dan demokrasi serta tingkat transparansi yang tulus iklas antara kedua belah pihak karena ada promo di Papua. “Jangan kitorang baku bohong terus,” ujar Maydepa.
KONTRAK KARYA DI PROVINSI PAPUA
Nama Perusahaan Luas/Jenis Lokasi/Kab/kota Keterangan
1 PT. Freeport Indonesia BLOK A 10.000 ha. Kabupaten: Mimika, Paniai,
Puncak Jaya, Tolikara Blok A : Eksploitasi,
Blok B : 202.950 ha Blok B : Eksplorasi
2 PT. Iriana Mutiara Idenburg 108.600 ha Emas dmp
Kabupaten: Keerom, Pegunungan Bintang
Perpanjangan Eksplorasi Tahap II
3 PT. Irja Eastern Minerals Blok I;228.760 ha
Kabupaten: Kaima, Nabire, Mimika, Waropen, Paniai, Puncak Jaya,
Tolikara Perpanjangan Eksplorasi
Blok II1;73.300 ha
Blok III;91.990 ha Emas dmp (Dan mineral Pengikut)
4 PT. Iriana Mutiara Mining 16.470 ha Emas dmp
Kabupaten Sarmi Perpanjangan Eksplorasi
5 PT. Kumamba mining 211.800 ha. Logam Dasar (pasir besi, dll)
Kabupaten Sarmi Perpanjangan Eksplorasi Tahap II
6 PT. Nabire Bakti Mining Blok I; 159.247 ha.
Kabupaten Paniai, Fakfak Perpanjangan Eksplorasi
Blok II; 30.320 ha
Blok III; 9.937 ha
Tabel Kuasa Pertambangan(KP) Penyelidikan Umum
Nama Perusahaan Tahap Kegiatan Luas dan Jenis Bahan Galian
Kabupaten/Kota
1. PT. Benliz Pacific Penyelidikan Umum 45.680 Ha, Emas dmp
Kabupaten Paniai
45.340 Ha
10.566 Ha
16.867 Ha
2. PT. Antam Tbk Penyelidikan Umum 37.588 Ha Tembaga, Emas dmp
Kabupaten Pegunungan Bintang
49.740 Ha
49.920 Ha
49.830 Ha
Tabel Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi
Nama perusahaan/ Kep.gub.no.kp/ tgl/Tahap/jenis/Luas Lokasi Kab/kota Masaberlaku
1. PT. Anugerah Sentani Nikel 51/2007 (02-04-2007) KP. Eksplorasi
Nikel 25.537 ha Kabupaten Jayapura 3 Tahun
2. PT. Bumi Teknik Mandiri 57/2007 (02-04-2007)
KP. Eksplorasi Emas dmp19.600 ha Kabupaten Nabire, Kab. Paniai,
Kab. Waropen 3 Tahun
3. PT. Sinar Indah Persada 158/2007(10-09-2007)
KP. Eksplorasi Nikel Blok I :10.580
Blok II : 5.396 Kabupaten Jayapura 3 Tahun
4. PT. Sinar Indah Persada 159/2007 (10-09-2007)
KP. Eksplorasi Nikel 100.000 ha Kabupaten Keerom 3 Tahun
5. PT. Sinar Indah Persada 158/2007 (10-09-2007)
KP. Eksplorasi Nikel Blok I :10.580
Blok II :5.396 Kabupaten Jayapura 3 Tahun
6. PT. Sinar Indah Persada 159/2007 (10-09-2007)
KP. Eksplorasi Nikel 100.000 ha Kabupaten Keerom 3 Tahun
7. PT. Karya Manunggal 166/2007 (21-9-2007) KP. Eksplorasi
Batubara 50.000 ha Kabupaten Mamberamo Raya 3 Tahun
8. PT. Papua Inti Energi 167/2007 (21-9-2007)KP. Eksplorasi
Batubara 50.000 ha Kabupaten Mamberamo Raya 3 Tahun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar