Jumat, 25 September 2009
Strees pada Anak Lebih Berbahaya
KabarIndonesia - Kelihatannya sepele tetapi tampaknya stress pada anak-anak justru lebih membahayakan sebab akan memberikan dampak hingga mereka mencapai usia dewasa. Bahkan dalam melanjutkan pendidikan, mereka tidak bisa melakukan perbuatan yang terbaik karena merasa tertekan. Hal ini justru akan mengakhiri hidup mereka sendiri.
”Jangan memaksakan anak-anak di TK untuk bisa membaca, menulis dan sebagainya sebab masa belajar tersebut hanya bisa dilakukan pada anak-anak kelas 1, kelas 2 dan kelas 3,” ujar Direktur Sekretaris Eksekutif YPPK, kota dan kabupaten Jayapura, Drs. Wiran kepada HOKI Sabtu (19/9) di Jayapura.
Jadi intinya menurutnya, anak-anak sekolah di Taman Kanak-kanak (TK) lebih mengutamakan kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan lebih mengutamakan kejujuran, kecerdasan budaya mengajar agar menghargai budaya orang lain. Bahkan Romo Eko dari Paroki Gembala Baik Abepura pun menegaskan anak-anak jangan terlalu dipaksakan untuk masuk jenjang pendidikan SD, apalagi usianya baru mencapai lima atau enam tahun. Lebih lanjut ditegaskan Romo Eko, orang tua jangan terlalu memaksa anak-anak untuk masuk sekolah sebelum usia tujuh tahun.
”Pasalnya dalam usia dini yang diperlukan adalah guru dan orang tua harus memberikan teladan bagi mereka," ujar Romo Eko, Pengawas TK Bintang Kecil.
Anak-anak cenderung akan meniru apa saja yang biasa dilakukan oleh para guru mau pun orang tua termasuk lingkungan di mana mereka berada.
"Saya harapkan agar jangan terlalu memaksakan anak-anak untuk belajar sebab pada usia dini mereka lebih cenderung bermain dan meniru perilaku orang di sekelilingnya," ujar Romo Eko.
Hal senada juga dikatakan Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) Atik Rismiharti, A Ma.Pd namanya juga taman kanak kanak jadi lebih mengutamakan anak-anak untuk bermain, kalau pun ada yang bisa menulis, membaca dan lain lain bukan berarti semua harus mampu.
”Tapi biarkanlah anak-anak itu berkembang sesuai dengan tingkat dan kemampuannya,” ujar Atik seraya menegaskan tanggung jawab pendidikan anak-anak terutama juga pada orang tua karena waktu mereka lebih banyak berada di rumah.
Namun dia menambahkan, seringkali justru orang tua menyerahkan seluruh tanggung jawab pendidikan anak-anak justru kepada guru di sekolah, termasuk juga di Taman Kanak-kanak atau TK. Celakanya lagi kalau orang tua sudah melepaskan anak-anak mereka bersekolah, baik di Taman Kanak-kanak, SD dan sudah menjadi tanggung jawab guru. Tidak semua anak-anak memperoleh keberuntungan untuk melanjutkan sekolah terutama karena kesibukan orang tua.
Marthen Dou, warga Dok V Kota Jayapura mengatakan, anak-anak di daerah lembah Sabang Merauke Dok V Atas banyak yang tidak mendapat perhatian dari orang tua lagi.
”Baik karena orang tua cerai atau karena sibuk kerja dan tidak ada lagi waktu untuk memperhatikan anak-anak mereka,” tegas Dou. Akibatnya kata Douw, mereka berkeliaran di kota Jayapura dan sudah mengenal miras serta mencium aibon.
”Mereka bisa dipanggil anak-anak aibon,” kata Marthen Douw. Rombongan anak-anak aibon ini semakin besar dengan banyak pula saudara-saudara mereka yang datang dari Nabire kalau kapal putih masuk dan bergabung juga dengan saudara mereka di Argapura Pipa.
Marthen mengakui di wilayah Lembah Jalan Sabang Merauke Dok V telah dibangun Pendididikan Anak Usia Dini (PAUD) oleh YPPK Kota Jayapura tetapi anak-anak putus sekolah juga banyak, sehingga lingkungan di sana tak begitu mendukung.
”Saya melihat lingkungan juga turut mempengaruhi kehidupan anak-anak, sehingga bisa terjun ke dunia anak-anak aibon,” tegas Marthen Douw. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak kecil di Papua untuk merasakan mabuk tanpa meneguk minuman keras. Dengan bermodalkan beberapa ribu rupiah dan membeli sekaleng lem aibon sudah mabuk dan teler. Karena sering menghirup gas lem aibon, maka anak-anak pecandu lem aibon dipanggil anak-anak aibon. Mereka mungkin bisa dikategorikan anak-anak terlantar tetapi agak sulit karena orang tua mereka masih ada. Kalau pun masih ada juga tidak lengkap hanya seorang saja. Bahkan anak anak aibon di Lembah Sabang Merauke Kota Jayapura, justru tinggal bersama mama-mama mereka.
”Ada yang sudah janda,” tegas Marthen Douw yang juga baru ditinggal istrinya karena kawin lagi.
Pendidikan bagi anak-anak usia dini sangat penting tetapi tak semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya perhatian utama jelas dari orang tua guna mengontrol dan memperhatikan perkembangan usia mereka sejak usia dini. Celakanya kalau hanya sebagai single parent atau hanya seorang diri dalam membesarkan dan mendidik anak-anak, justru akan menambah beban di kemudian hari. Namun yang jelas kata Atik Rismiharti, Kepala Sekolah TK YPPK Bintang Kecil yang mengutip pernyataan Pastor Dorothy Law Nolte berjudul Anak Belajar dari Kehidupannya, ”Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki,” ujar Atik seraya memberikan contoh kalau mengatakan anak bodoh jelas akan memberi pengaruh buruk.
Selanjutnya jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Bahkan jika anak dibesarkan dengan rasa takut, ia belajar gelisah.
”Jadi jangan kita katakan pada anak, ada hantu jelas akan memberikan perkembangan yang tidak baik,” kata Atik. Lebih lanjut urai dia, jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian. Begitu pula kata dia melanjutkan pernyataan Dorothy Law Nolte, jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Bahkan jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri. Begitu pula jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
"Terkadang orang tua memarahi anak-anak kalau tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik tetapi sebaliknya harus memuji agar mereka tidak merasa dipermalukan," ujar Atika seraya menambahkan jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar menyenangi diri. Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan dan selanjutnya jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan. Bahkan kata dia jika anak disesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta di dalam kehidupan. Memang pesan ini sangat ideal tetapi agak sulit untuk dilakukan sebab terkadang anak-anak suka meniru apa yang selalu dilakukan oleh kedua orang tua mereka. Salah satu contoh klasik ialah ketika orang tua suka menyebut nama-nama kebun binatang di rumah, otomatis anak-anaknya akan tidak segan menyebut kata anjing, babi dan monyet bagi sesama manusia, termasuk teman bermain mereka. Salah siapa kalau sudah terlanjur meniru kesalahan dan kekeliruan orang tua?(*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar