JUBI — Ada gula, ada semut. Agaknya pepatah ini pantas disandang PT. Freeport Indonesia. Disitu, emas dan kekerasan dituai tanpa henti.
Lahan ribuan hektar itu adalah Grasberg. Orang Amungme di Timika menyebutnya, Gunung Tenogome. Lahan ini sekitar 40 tahun lalu menjadi sangat berarti untuk penambangan tembaga yang bernilai triliunan rupiah dikemudian hari. Tambang itu berawal dari sebuah lokasi yang sangat kecil. Inilah inspirasi terbesar setelah demam emas di Sungai Laloki. Sekitar 10 mil dari Port Moresby di Papua New Guinea (PNG) pada 1878. Laloki telah menjadi magnet bagi tim ekspedisi dunia untuk mencari sumber emas lain. Akhirnya mereka mendapatinya di Papua. Inspirasi ini juga yang membuat pemerintah Belanda pertama kali memberikan ijin ekspedisi pada Forbes Wilson dan Mozes Kilangin Tenbak untuk mengambil batu-batuan di Ertsberg. Batuan yang ternyata telah mengantar Amerika menghasilkan triliunan rupiah pertahun dan menghilangkan nilai yang sama untuk pemerintah Indonesia. Dalam operasinya, Freeport bisa memperoleh keuntungan bersih mencapai Rp 1,27 triliun. Setahun setelahnya, 2003, nilainya bahkan naik hingga Rp 1,62 triliun. Lonjakan itu bertambah pada 2004 menjadi Rp 9,34 triliun.
Awalnya dari ekspedisi itu, sebelum diketahui oleh pemerintah Indonesia jika nantinya akan disia-siakan, bersama Freeport Internasional, pemerintah meneken negosiasi yang menakjubkan. Namanya Kontrak Karya Pertama. Tahun 1967. Diluar dugaan, orang Papua menganggapnya aneh karena status wilayah masih belum jelas. Yang mencengangkan kemudian adalah, sebelum Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilaksanakan pada 1969 atau dua tahun sebelum Free of Choice, kontrak telah diteken.
Lewat Orde Baru, pemerintah selanjutnya mengeluarkan UU No:1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967. Undang-Undang ini untuk merespon keinginan pembukaan tambang baru. Maret 1967, PT. Freeport Indonesia Incorporate (FII), perusahaan yang dibentuk Freeport Internasional, diwakili Forbes Wilson akhirnya menandatangani Kontrak Karya Pertama. Usaha penambangannya di wilayah Pegunungan Selatan Jayawijaya, di Gunung Erstberg. Dalam bahasa Amungme disebut Yelsegel Ongopsegel. Penandatanganan untuk operasi tambang selama 30 tahun itu kini telah menghasilkan lubang raksasa di Erstberg yang diberi nama “Danau Wilson.” Nama ini diberikan sebagai penghormatan kepada Forbes Wilson. “Sejak awal, negara memang sudah tidak mengakui adanya masyarakat adat,” tegas Jerry, peserta dari Nabire dalam Seminar bertema, Satu Tanah; Satu Kultur dan Satu Hati di Hotel Sentani Indah belum lama ini.
Baginya, sangat luar biasa pemerintah saat itu langsung membuat kontrak karya. Padahal bagi suku-suku dipedalaman Papua, untuk memperoleh lahan yang luas, tak segampang yang dikira. Perlu pertumpahan darah untuk mendapat sejengkal tanah. Tanah bagi mereka ibarat ibu yang menjaga dan memelihara. Bagi mereka tanah tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga bermakna religius. Mereka mempergunakan tanah untuk mendukung segala aktifitas dan menjalankan kehidupan sehari-hari.
Tapi ini berbeda. Sampai disini, masyarakat juga tak dapat berbuat banyak. Mereka bahkan berpartisipasi dalam menunjang ekspedisi pembukaan Freeport. Masyarakat setempat terlibat mulai dari persiapan di Kokonao hingga pembukaan pemukiman baru di Akimuga. Pada proses pembukaan lahan ini, Tokoh Amungme,Mendiang Guru Mozes Kilangin Tenbak menceritakannya, “kitorang berjalan dari gunung ke gunung untuk membuka jalan untuk Freeport masuk. Kini semua sudah terbuka lebar semua orang datang ke Timika”.
Seseorang yang kemudian menyesali masuknya Freeport adalah tokoh Amungme, almarhum Tuarek Narkime. “Saya selalu bertanya kepada Tuhan, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah Suku Amungme? Apakah karena gunung-gunung yang kaya dengan sumber daya mineral itu, Freeport, ABRI, Pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita?”. “Apakah karena itu, kami orang Amungme harus terus menerus ditekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kami maksudkan lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki”. Kalimat itu masih terngiang hingga kini. Tuarek Narkime, 1994, juga mengatakan, “Sungguh, saya benar-benar marah kepada Tuhan. Mengapa Dia harus menempatkan segala gunung-gunung yang indah dan barang tambang itu di sini”.
Pergumulan Narkime tanpa disadari kemudian membawa perubahan besar. Warga Amungme pun marah. Kekecewaan itu berakhir diatas sebuah perjanjian pada Januari 1974. Hasilnya, mereka mendapat dana satu persen. Freeport juga membentuk Lembaga Masyarakat Amungme dan Kamoro terutama untuk pengelolaan dana tersebut yang bagi masyarakat setempat disebut uang darah. Namun kekecewaan belum berakhir. Persoalan kemudian berlanjut dengan selalu muncul perang antara suku di Timika. Penembakan, kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan juga menjadi warna baru setelah itu.
Insiden terakhir yang kemudian membuat sejumlah pihak mengecam Freeport adalah, tertembaknya seorang warga Negara Australia di mile 53 Tembagapura oleh orang tak dikenal. Insiden ini menuai protes ke Freeport yang dikenal super ketat dalam pengamanannya. Sekretaris Dewan Adat Papua Leonard Imbiri juga merasa heran atas peristiwa tersebut. Dia bahkan menyesali komentar TNI yang telah menjustifikasi Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai pelaku sebelum ada pemeriksaan dan pembuktian valid. “Aneh penyidikan belum selesai sudah ada yang dituduh,” tutur Imbiri kepada Jubi belum lama ini.
Atas insiden tersebut, Gubernur Papua, Barnabas Suebu, menegaskan, jelas bukan dilakukan oleh masyarakat sipil. “Apalagi masyarakat disana sudah menerima dana satu persen dalam peningkatan sumber daya mereka,” tutur Suebu. Pernyataan Suebu belakangan diikuti sejumlah media di Papua dengan menterakan sumber orang tak dikenal dalam kasus tersebut.
Akhirnya, sulit memang untuk menentukan kapan konflik akan berakhir di Timika. Jika saja Timika adalah Bandung, mungkin konflik tak akan terjadi. Sayangnya Timika adalah Freeport. Timika adalah emas dan perak. Dan Timika adalah gula. Disitu sangat jelas akan ada semut yang berkeliaran. Mulai dari jasa pengamanan hingga pengusaha kelas teri. Mulai dari penjual jamu hingga swalayan raksasa. Selayaknya Freeport yang diibaratkan gula meski dinikmati secara merata. Tujuannya untuk menghindari konflik yang suatu saat bisa akan kembali. Jelaslah seperti dikatakan, mantan Ketua Umum Forum Cendekia Muslimah Peduli ICMI Sulawesi Selatan, Sutina Made. “Dengan cara itu, sumber daya alam akan dimasukkan dalam kategori kepemilikan publik yang pengelolaannya diserahkan pada Negara dan hasilnya dikembalikan sebesar-besarnya kepada rakyat,” ujarnya.
Dia mengatakan, kini saatnya giliran intelektual Papua mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelamatkan sumber daya alam Papua. Bisa lewat promosi strategi managemen sumber daya alam yang lebih baik, khususnya di areal tambang Freeport, agar bisa membangun sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat. Jika tidak dilakukan dari sekarang, niscaya konflik akan terus berkembang. Masyarakat juga akan terus menanggung semua resikonya. Tidak hanya soal kekerasan dan pelanggaran HAM, tapi juga dampak lingkungan dari Freeport. “Para intelektual Indonesia khususnya cendekiawan Papua harus memberi solusi bagaimana sumber daya alam Papua dikelola secara adil,” katanya. Keadilan ini tidak saja untuk Freeport dan penguasa di Papua, tapi juga untuk 37,53 % keluarga Papua yang dihimpit kemiskinan. (Tim Jubi/DAM))
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar